Minggu, September 28, 2008

KENDARAAN

Tidak tepat sebenarnya kalau aku menyampaikan ini padamu kawanku. Kau sebenarnya sudah cukup tahu bahkan mengerti apa yang sudah menjadi jalan kendaraan kita ini. Namun menurutku berbahaya jika kau terlalu sering menoleh keluar dari jendela itu. Aku hanya ingin mengingatkan kau kawanku. Sudah cukup bagiku untuk mengendalikan kendaraan ini. Sekarang bagianmu. Hanya saja aku masih di dalam kendaraan ini. Aku ikut dalam kendalimu, bersama kawan-kawan lain. Maka itu aku tak bisa hanya diam dan pasrah saja ketika terlalu sering kau menoleh keluar dari jendela itu. Aku takut jika kita malah tak pernah sampai pada tujuan kita. Tujuan yang sudah memang diatur berlama-lama waktu. Berkeringat-keringat kita punya badan. Terseok-seok kita punya kaki. Bukankah kau tak menginginkan hal itu menjadi sia-sia kawanku?
Kau masih ingat kawanku? Saat bersama-sama kita merakit ini kendaraan. Kita sama-sama belum tahu apa yang harus dipasang pada kendaraan ini. Kita sama-sama belum tahu mau kemana arah kita setelah kendaraan ini jadi. Tapi setelah kendaraan itu jadi, semua komponen terpasang di tempatnya, walaupun tambal sulam pada dindingnya masih sangat terlihat, kita sama-sama memantapkan tekad arah perjalanan kita.
Kawan,
Kita sama-sama tahu dan melihat, banyak kendaraan lain yang berjalan berbarengan dengan kita. Dan kau tahu juga, bahkan banyak yang sudah berjalan lebih dulu. Tapi kita punya arah tujuan sendiri kawan. Kita tidak hanya mengekor mereka punya arah. Dengan kendaraan kita yang tambal sulam begini, kita mencoba mencari arah sendiri. Bukannya sok berdikari atau apalah namanya, tapi kau tahu kan, kita tak mau berjalan dimana berjuta orang berjalan juga. Konservatif itu namanya. Kita juga tak ingin bergantung pada kendaraan lain, mencoba mengikuti arah jejak jalannya. Kita punya arah sendiri kawan! Arah sendiri. Tapi jangan juga kita bilang kendaraan lain itu salah arah, jangan kawanku. Kita hanya punya arah sendiri. Setiap orang boleh menentukan nasibnya bukan? Begitu juga dengan kita.
Dalam perjalanan kita yang pelan tapi pasti itu, ternyata kita banyak menemukan kawan-kawan lain yang ingin menumpang pada kita punya kendaraan. Kendaraan yang serba tambal sulam begitu ternyata ada yang melirik juga. Aku tak tahu apakah mereka punya arah yang sama dengan kita, atau mereka hanya menumpang lalu berhenti pada persimpangan jalan di depan sana. Kita sama-sama tak tahu kawan. Yang jelas kita mencoba jadi orang baik kawan. Kita berikan itu kursi yang masih banyak kosong pada mereka-mereka ini. Tapi kalau ternyata arah mereka tidak sejalan dengan kita, kita biarkan mereka turun di persimpangan di depan sana. Karena kawanku, kita tidak bisa mengantar mereka ke arah tujuan mereka. Karena, terpaksa kuulang lagi kawan, kita punya arah sendiri.
Kawan,
Pada waktu itu kita berjalan malam hari. Aku yang mengemudi. Kau masih ingat? Gelap sekali. Itu lampu di kendaraan kita juga bukan lampu yang terbaik yang seharusnya dipasang. Jadilah kita beberapa kali harus berhenti memasang kembali itu lampu karena sering terlepas dari tempatnya. Tapi hanya sejenak kita berhenti kawan. Semangat kita mengalahkan soal lampu itu. Sampai akhirnya lampu itu terlepas dan tak bisa lagi dipasang. Untungnya Tuhan juga tak tinggal diam kawan. Dia kasih penerangan dari bulan yang bersinar indah di langit. Walaupun terlihat hanya samar-samar, kita lanjutkan perjalanan. Kau masih ingat kawan? Berat sekali waktu itu.
Suatu kali kendaraan kita tak bisa berjalan. Berhentilah kita di pinggir jalan, jalan yang penuh dengan semak belukar. Tapi kita merasa tidak tersesat kan? Kau mencoba mencari apa yang membuat kendaraan itu berhenti. Ternyata kita kehabisan itu bahan bakar. Kita terlalu semangat berjalan, mungkin. Jadinya kita berdiri disini, di pingir jalan yang penuh semak belukar. Tapi kita kan tidak takut kawan? Kita hanya berhenti sebentar, bukan tersesat. Kalau tersesat itu, mereka tidak tahu arah perjalanan mereka. Tapi kita tahu kawan. Kita tahu harus dibawa kemana ini kendaraan. Kita cuma kehabisan bahan bakar. Itulah saja. Sementara kita berhenti, ada kendaraan lain yang berhenti. Kita senang bukan kepalang. Ternyata kendaraan itu sama arah tujuannya dengan kita. Mereka coba bantu kita. Mereka beri itu sedikit bahan bakar mereka. Mereka coba kasih kita semangat lagi. “Mari kita lanjutkan perjalanan kita kawan” kata mereka itu hari. Akhirnya kita bisa melanjutkan perjalanan kita kawan. Kau masih ingat kawan? Kau dan aku tersenyum bersama.
Kawan,
Perjalanan kita ternyata masih sangat jauh. Aku mulai lelah. Mulai mengantuk. Seperti kata seorang yang sangat aku hormati, “dulu aku merasa tidak akan pernah tua.” Tapi ternyata itu kejadian yang alamiah. Kau dan aku tak bisa menghindari itu. Itu kodrat namanya. Harus ada yang menggantikan aku mengemudi. Tapi bukannya aku lalu turun dari ini kendaraan. Tidak kawanku. Kita belum sampai pada tujuan kita. Kenapa aku harus turun dari ini kendaraan? Aku hanya ingin ada yang menggantikan aku. Mengemudikan ini kendaraan sampai ke tujuan kita. Kau pun nantinya juga akan digantikan. Begitu terus. Sampai kita tiba di tujuan.
Ada beberapa kawan yang mengusulkan untuk mem-vermak ini kendaraan. Jadi lebih mentereng. Jadi lebih yahud. Enak dipandang di permukaan. Tapi aku menolak, kawan. Tak apalah kita naik ini kendaraan. Biarkan saja begini. Jelek-jelek begini, ini kendaraan kita dari awal. Banyak kenangan yang tergores pada ini kendaraan. Aku dan beberapa kawan lain juga sangat sayang pada ini kendaraan. Jangan lupakan sejarah! Itu pesan orangtua. Sejarah yang membentuk kita jadi seperti sekarang. Kemarin, hari ini, adalah esok, kawanku. Jangan kau merubah sejarah. Itu tidak baik menurutku. Tidak mendidik. Kau tidak ingin kan? Kendaraan yang sama-sama kita sayangi ini dionggokkan di tepi jalan semak belukar. Sendiri menunggu karat. Akhirnya mati dan tak berbekas. Aku perlu katakan ini lagi kawan, Jangan lupakan sejarah!
Kawan,
Matahari mulai terlihat. Jalanan itu mulai terlihat dengan jelas. Kau sudah menggantikan aku mengemudi. Lebih segar kulihat. Sedangkan aku? Aku mulai mengantuk kawan. Aku akan duduk di kursi penumpang saja. Tapi, seperti yang aku katakan diawal tadi. Jangan kau sering menoleh keluar jendela itu kawanku. Bisa bahaya. Kau harus yakin dengan arah kita. Bukankah yakinmu sama dengan aku punya yakin? Pastilah itu jika aku melihat pemikiranmu kawan. Aku tidak akan kemana-mana. Aku dibelakangmu. Mencoba menunjukkan arah jika kau bingung harus kemana. Tapi, aku yakin kau bisa sendiri kawan. Kau cukup punya potensi untuk itu.
Aku mulai lelah kawan.
Baiklah jika aku menyelesaikan omongan ngelantur ini disini saja. Jalankan ini kendaraan dengan baik. Sekali lagi tak bosan aku memperingatkan, jangan terlalu banyak kau menoleh keluar jendela itu. Itu didepan sudah terlihat jalan yang mulus. Mari arahkan kendaraan ini kesana.


PD Prananda

Sabtu, September 20, 2008

NOT ONE LESS - Movie Reviews


Not One Less, Film Drama Komtemporer Bermutu

Sutradara Zhang Yimou tidak hanya dikenal dengan film drama atau silat periode kuno, misalnya saja film terbarunya "Hero", sesungguhnya tangannya telah membuahkan banyak film drama kontemporer bermutu.

Jika tidak demikian, bagaimana Zhang Yimou bisa memperoleh banyak penghargaan dan pengakuan dari berbagai festival film di seantero dunia atas kemampuan penyutradaraannya. Salah satu film drama kontemporernya adalah "Not One Less" yang diproduksi pada tahun 1999.

Kisahnya bermula ketika Guru Gao dari Sekolah Dasar Shuiquan yang terletak di sebuah desa Cina daratan terpencil yang jauh dari kota, harus pergi dari desa itu selama sebulan untuk merawat ibunya yang tengah sakit. Lantaran tidak ada pilihan lain, Guru Gao terpaksa menerima tawaran kepala desa itu untuk menerima seorang gadis remaja bernama Wei Minzhi yang baru berusia 13 tahun sebagai guru penggantinya.

Lantaran murid Guru Gao berkurang dari 40 orang hingga menjadi 28 orang, sehingga meminta Minzhi untuk menjaga jangan sampai ada satu murid drop out selama Guru Gao pergi. Jika Minzhi berhasil melaksanakan tugas itu, maka ia akan mendapat bonus tambahan 10 yuan.

Minzhi dengan setia dan telaten melaksanakan jadwal dan tugas yang diberikan Guru Gao dan menjaga para muridnya yang tidak jauh berbeda usia dengannya agar tetap belajar. Tampaknya Minzhi akan berhasil melaksanakan tugasnya sebagai guru pengganti dengan baik.



Namun tunggu dulu karena ternyata salah satu murid lelaki bernama Zhang Huike yang berusia 10 tahun punya ide lain. Lantaran keluarganya menghadapi masalah keuangan serius sehingga Huike ingin membantu keluarganya.

Oleh karena itu, Huike pun pergi ke kota besar untuk mencari pekerjaan. Tentu saja Minzhi jadi kelabakan ketika menyadari murid ternakalnya menghilang tanpa memberitahunya. Minzhi tidak mau kehilangan bonus tambahannya sehingga berusaha mencari Huike ke kota besar. Namun Minzhi tidak siap menghadapi keadaan yang dialaminya dalam perjalanannya ke kota besar.

Ternyata menjadi guru sekolah tidak menjamin Minzhi bisa melakukan perjalanannya dengan mulus. Ia syok ketika menyadari pengetahuannya tentang wilayah di luar desanya ternyata berbeda dengan kenyataannya. Misalnya harga tiket ke kota ternyata 20 yuan, bukan 3 yuan seperti perkiraannya.

Akibatnya ia harus berjalan kaki ke kota. Setiap rencana Minzhi untuk menemukan Huike selalu menemui kegagalan. Tidak heran jika Minzhi jadi bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Hingga pada suatu saat ia menemukan dirinya diwawancarai oleh sebuah stasiun televisi.

Apa yang terjadi setelah Minzhi diwawancarai oleh stasiun televisi ? Akankah Huike berhasil ditemukan Minzhi pada akhirnya ? Saksikan di RAMADHAN CINEMA, 25 September 2008


UNTUK PEMULA

LANGKAH-LANGKAH DALAM
MEMPERSIAPKAN FILM PENDEK
Oleh Robert Nikcson



CERITA DAN NASKAH :
1. Lama durasi film ditentukan oleh dana/budget yang dimiliki.
Ingat, film berdurasi 10 sampai 15 menit (dan pintar), biasanya lebih sukses daripada film yang berdurasi lebih lama dari itu. Jangan mencoba durasi yang lebih panjang jika kamu tidak mampu untuk menyelesaikan proyek itu.

2. Pilih cerita yang menjawab pertanyaan klasik film, “Apakah ini sesuatu yang belum pernah kita lihat sebelumnya?”
Bagaimanapun juga, anjuran yang paling baik ialah menulis apa yang kita tahu. Kita harus bisa berimajinasi dengan memasukkan karakter (tokoh), dan/atau situasi yang luar biasa dan memikat penonton.

3. Tanyakan pada dirimu sendiri, “Aku menginginkan penonton merasakan atau memikirkan apa setelah selesainya pemutaran film?”
Akhir dari sebuah film adalah kesan terakhir yang menyebabkan “kata mulut” dan makna film itu terlihat sukses di mata penonton. Haig Manoogian, seorang professor dari New York University; terkenal pada tahun 60an dan 70an, berpendapat bahwa sebuah film pendek harus mempunyai akhir yang berputar dan ujung yang terlepas [menggantung : pnrj*]. Dalam film pendek dari Marty Brest (sutradara dari Scent Of A Woman), karakter utama yang seorang fotografer, gagal memotret Patung Liberty yang sengaja dibakarnya. Fotografer itu kemudian pulang dengan perasaan depresi, dia melewati sebuah kantor agen perjalanan yang memasang poster Menara Eiffel di Paris. Fotografer itu berhenti dan kamera menangkap ekspresi wajahnya yang melihat poster itu lalu fade out. Penonton ditinggalkan dengan sebuah pertanyaan, apakah fotografer itu akan pergi ke Paris dan mencoba melakukan hal yang sama terhadap Menara Eiffel?

4. Sebelum memulai pra produksi, pastikan bahwa naskah yang kamu miliki adalah naskah yang terbaik.
Lakukan proses readings, tidak perlu dengan semua aktor, tapi ajaklah beberapa aktor untuk duduk dan membaca setiap bagian dari naskah. Kalau perlu carilah kawanmu yang bertugas menjadi pembaca naskah. Selama pembaca naskah melakukan tugasnya, dengarkan baik-baik naskah itu dan carilah beberapa masalah seperti : kata yang terlalu panjang, dialog yang terlalu menjelaskan [vulgar: penrj*], cerita yang berlebihan, tempo yang terlalu lambat atau terlalu cepat, dan scene itu sendiri. Satu contoh : Manakah yang lebih baik dan menarik antara adegan Bill yang mengajak Mary ke Prom Night lalu kita potong pada gambar Bill dan Mary yang sedang berdansa di Prom Night; ATAU adegan Bill yang mengajak Mary ke Prom Night, Mary mengatakan ya, lalu kita potong pada adegan Prom Night? Biarkan naskahmu yang menjawab pertanyaan seperti itu. Letakkan perhatian pada penonton. Penonton tidak seharusnya melihat apa yang sudah mereka tahu, itu akan membuat penonton merasa bosan dan menganggap film itu terlalu lambat.

5. Jangan menulis apa yang nanti menjadi kekurangan (atau keraguan) pada filmmu.
Banyak naskah yang ditulis dengan scene yang terlalu panjang, terlalu banyak dialog, dan terlalu eksplisit. Jalan terbaik untuk menghemat uang adalah syuting filmmu dengan tidak terlalu banyak material. Ketika kamu menghentikan penulisan di saat yang paling esensial, kamu akan menghemat banyak dana produksi untuk mengusahakan kualitas terbaik dari shotmu.

6. Tulis apa yang akan dilihat oleh kamera.
Kamera tidak bisa melihat pemikiran atau perasaan yang internal, jadi jangan tulis itu dalam naskah. Selalu harus diingat, naskah itu digunakan oleh para kru untuk menyampaikan maksud dari sutradara. Salah satu contoh kasus : Dalam sebuah proyek film, seorang penulis naskah/sutradara itu sendiri menulis bahwa karakter utama menerima dan membuka “sebuah amplop special delivery”. Kru properti sudah menyiapkan enam amplop special delivery dari Kantor Pos. Pada hari pengambilan gambar, sutradara melihat hasil pekerjaan kru properti dan berkata bahwa amplop itu kurang “spesial”. Sutradara menginginkan amplop dari Federal Express. Hal ini menyebabkan dua masalah. Yang pertama ialah masalah perijinan, karena penggunaan amplop (atau apapun) dari Federal Express harus mempunyai ijin, dan hal itu akan menyebabkan terbuangnya banyak waktu produksi, karena kru lain akan menunggu kru properti untuk menyelesaikan tugasnya. Solusi dari masalah ini ialah menggunakan amplop dari Kantor Pos (karena tidak memerlukan ijin) dan memulai shooting setelah cukup banyak waktu yang terbuang. Masalah diatas terjadi karena penulis naskah/sutradara tidak menuliskan secara detil apa yang harus kamera lihat. Kru properti sudah melakukan tugasnya dengan benar. Mereka sudah membaca naskah dengan tepat. Oleh karena itu, para penulis naskah harus menulis segalanya dengan detil. Khususnya jika penulis naskah itu merangkap sebagai sutradara juga.

7. Selalu ingat bahwa naskah itu nantinya akan dibuat film.
Ini artinya bahwa tidak ada keajaiban dalam produksi yang naskahnya sedang-sedang saja (kurang kuat). Dalam membuat film yang baik, menulis naskah dengan benar adalah salah satu jalan untuk menghemat dana produksi. Seluruh film yang sedang-sedang saja atau bahkan buruk, berasal dari naskah yang sedang-sedang saja atau bahkan buruk. JANGAN MEMULAI PRODUKSI SAMPAI NASKAH ITU JADI DAN SANGAT SIAP.



PRA- PRODUKSI
1. Pra-Produksi dimulai pada saat naskah sudah sangat siap dan juga telah “dipoles” sehingga terasa layak atau pantas untuk diproduksi.
2. Langkah pertama yang harus dilakukan sutradara dalam pra-produksi adalah membuat storyboard dari screenplay (skenario) yang ada.
Sutradara harus membuat analisis dramatik dari proyek tersebut, alias menentukan shot kamera yang tepat. Kapan harusnya karakter diambil gambarnya sendirian (atau berpasangan) dalam sebuah shot yang rapi? Kapan harusnya kamera meng-cover shot yang lebar (wide shot), kapan harus memberi tekanan pada lingkungan sekitar (established shot), kapan harus memberi tekanan pada aktor (objective shot), kapan harus me-minimize lingkungan sekitar (subjective shot)? Ingat, rencana dasar dari pendekatan visual dan coverage kamera datang dari keperluan dramatis dari skenario dan tidak perlu menunggu sampai seluruh lokasi ditemukan. Pada dasarnya, ini adalah sebuah pembalikan. Jika kebutuhan coverage kamera sudah ditentukan, hal ini bisa menjadi bahan untuk menentukan lokasi mana yang paling bisa digunakan.

3. Memberikan perhatian yang penuh dan detil pada jadwal produksi adalah salah satu cara terbaik dalam menghemat dana produksi.
Setiap hari dalam proses pengambilan gambar (shooting day) akan selalu mengeluarkan uang lebih banyak dari tahap lain dalam produksi. Sebuah jadwal yang efisien akan akan menjadi dasar dalam pertimbangan-pertimbangan berikut ini : efisiensi penggunaan aktor; efisiensi penggunaan lokasi; sedikit kemungkinan perusahaan [rumah produksi: penrjh*] akan berpindah-pindah lokasi selama shooting day. Kita harus mengacu pada “shooting out” [menghabiskan shooting: pnrj*] lokasi atau aktor. Syarat itu berguna untuk mengarahkan proses pengambilan gambar seluruh scene yang mengacu pada sebuah lokasi atau aktor, hingga penggunaan lokasi dan aktor itu selesai dan tidak lagi diperlukan dalam produksi. Jika memungkinkan, cobalah untuk menghindari sering berpindah-pindahnya para kru antar lokasi yang berjauhan dalam satu waktu pengambilan gambar. Beberapa lokasi sebaiknya berada dalam satu waktu/hari atau berkelompok dan berdekatan, ini adalah proses dimana beberapa scene ataupun juga shot yang kecil dikelompokkan/digabungkan, jadi para kru dapat melakukan pengambilan gambar tanpa harus menaik-turunkan banyak peralatan dari kendaraan dan harus berpindah-pindah lokasi yang saling berjauhan. Sebuah proses yang dapat menghemat waktu, dua sampai empat jam, memberikan porsi waktu yang paling tepat dalam satu hari pengambilan gambar. Penjadwalan, seperti penulisan dan penulisan kembali (rewriting), lebih dari sekedar hanya menjadwalkan waktu dan menjadwalkan kembali (re-scheduling). Jadwal pertama adalah basis dari revisi-revisi jadwal berikutnya. Seluruh proses ini ditujukan untuk membuat pengambilan gambar-gambar terbaik dapat dimungkinkan tanpa menyia-nyiakan waktu ataupun tenaga para kru. Dan juga menghindari pengambilan gambar (shot) yang nantinya malah tidak diperlukan dalam film.

4. Pencarian dan menganalisis lokasi adalah salah satu aspek terpenting dalam pra-produksi.
Jika storyboard selesai dibuat, lokasi-lokasi perlu dipilih berdasarkan apa yang diperlukan kamera, bukan hanya berdasar pada indah atau menakjubkannya sebuah bangunan/lokasi, apalagi jika sebenarnya kamera (kita) tidak memerlukan hal-hal yang menakjubkan itu tadi. Saya telah melihat begitu banyak sutradara pemula yang berkeras mengeluarkan banyak uang untuk menyewa lokasi-lokasi yang mahal (bar, restoran, hotel, dll.) yang sebenarnya bisa lebih dimanfaatkan untuk keperluan produksi yang lain. Dalam salah satu kasus, seorang sutradara menghabiskan banyak uang dalam menyewa sebuah restoran yang berkelas untuk mengambil sedikit gambar (shot) dua orang pasangan romantis yang sedang makan malam. Gambar itu akhirnya akan terlihat sama saja jika adegan diatas diambil di ruangan manapun dengan menempatkan beberapa meja yang dihiasi dengan beberapa lilin dan bunga, ditambah dengan seseorang yang memakai tuxedo yang murah, lengkap dengan menu restoran dll. Ingat, aktor yang menyampaikan cerita, bukan lokasi! Carilah lokasi yang cukup murah bahkan gratis, dan nyaman untuk bekerja para kru dan aktor. Perhatikan, langit-langit (plafon) yang rendah sangat menyulitkan untuk penempatan lighting. Kalau filmmu berwarna, kamu harus mempertimbangkan segala macam warna dan bagaimana warna-warna itu bekerja secara psikologis dalam filmmu. Hal ini akan mengungkapkan kemungkinan mewarnai dinding lokasimu, dimana hal itu lebih murah daripada kamu menyewa mahal sebuah lokasi yang sudah di desain sebelumnya. Selalu pertimbangkan waktu atau berapa jam akses menuju lokasi. Perhitungkan waktu untuk Art Departemen menyiapkan set dan juga membongkar set setelah pengambilan gambar selesai. Francis Ford Coppola pernah berkata pada bibinya, dia ingin mengambil “enam menit scene” untuk filmnya “The Rain People” di rumah bibinya. Setelah hampir 12 jam proses pengambilan gambar, bibinya mendatangi Francis dan, seperti yang diduga, berkata : “Francis, kau katakan padaku ini hanya enam menit scene.” Moral dari cerita tersebut adalah kamu harus berterus terang pada pemilik lokasi tentang berapa lama kamu memerlukan waktu untuk prepare (menyiapkan), shooting, dan membongkar semua peralatan. Jangan lupa untuk selalu memeriksa suara-suara yang akan muncul selama jam-jam kamu menggunakan lokasi itu, berikan perhatian pada suara-suara lalu lintas, pesawat, sekolah, air conditioning (AC), dll. Sinar matahari langsung, dapat menyebabkan masalah pada continuity. Parkir dan akses peralatan yang mudah sangat penting. Check ketersediaan daya listrik, dan cari tahu dimana sekering dan circuit breaker (alat pemutus hubungan listrik) berada. Kebanyakan bangunan-bangunan kuno tidak mempunyai begitu banyak kapasitas listrik, dan mungkin hanya mampu mengatasi 1500 watts (kira-kira 15 amp) kebutuhan listrik. Jangan lupa untuk mempersiapkan sebuah ruangan untuk para aktor menunggu dan menggganti kostum, serta sebuah area untuk kebutuhan makanan para kru.

5. Tehnik menganalisis naskah dalam pra-produksi.
Semua film seharusnya mempunyai pra-produksi pada scene-per-scene, halaman-per-halaman, yang dilakukan oleh setiap kepala departemen dan sutradara serta para asisten sutradara, untuk memastikan setiap orang mengetahui apa yang diperlukan dalam setiap scene, seperti yang disebutkan dalam contoh kasus diatas (Bagian Cerita Dan Naskah : No. 6.) Kesalahan tersebut seharusnya bisa terselesaikan dalam menganalisis naskah, dimana segala aspek dari yang nantinya akan dilihat kamera diperhatikan.

6. Casting. Salah satu pekerjaan yang paling penting dari sutradara ialah meng-casting.
Saya sangat percaya pada yang namanya Active Casting. Hal ini maksudnya kita memperhatikan aktor pada saat bermain di pentas (panggung), dalam film, ataupun pada latihan-latihan. Semua sutradara bagus adalah seorang pengunjung teater yang setia. Banyak mahasiswa film yang merasa lebih baik membaca American Cinematographer [majalah film: pnrj*], daripada pergi untuk melihat permainan dan cara berbicara aktor. Melihat permainan aktor akan memberikan kualitas yang dinamis dan mempunyai kekuatan untuk menarik minat penonton. Saya selalu merasa seorang sutradara pemula cenderung memilih aktor yang dia suka untuk menjalin hubungan, daripada sebaliknya, memilih aktor yang akan membawa permainan (performance) yang menarik untuk filmmya. Jika aktor tersebut bermain sangat bagus, sutradara akan terlihat sebagai sutradara yang bagus. Jika aktor tidak bisa mengkreasikan “kehidupan di depan kamera”, maka sang sutradara yang akan disalahkan, tidak perduli walaupun gambar yang dihasilkan terlihat bagus. Dalam pikiran saya, mengkreasikan sebuah kehidupan di depan kamera itulah tugas yang paling penting dari seorang sutradara, bukan konstruksi gambar (shot.) Sebuah film dengan performa menarik, akan selalu mendapat respon positif. Sebuah shot yang bagus dan menarik dalam sebuah film, tanpa performa yang “terpercaya” adalah film yang buruk. Jadi, proses casting (memilih pemain) boleh jadi hal yang paling penting yang bisa sutradara lakukan setelah proses memilih atau menulis naskah.

7. Panduan teknis selama pra-produksi.
Setelah lokasi dipilih, sangat diperlukan untuk mengumpulkan sutradara, DOP, Sound Person, Key Grip, Gaffer, Art Director, serta Location Manager dan mengunjungi setiap lokasi sambil mendiskusikan seluruh aspek fisik produksi serta membicarakan segala hal yang dapat menimbulkan masalah.

8. Latihan para pemain.
Ada banyak sekali pendekatan latihan yang bisa dilakukan dan para aktor itu pun juga mempunyai metode yang berbeda satu sama lain. Pada hakekatnya, pendekatan latihan haruslah menjadi kebiasaan dalam setiap proyek dan pemilihan pemain.

9. Banyak istirahat sebelum shooting.
Shooting film memerlukan waktu yang panjang dan lama. Penting untuk memperhatikan dengan hati-hati jadwalmu, dan pastikan kesehatanmu pada kondisi yang paling baik. Segala macam hal yang menghalangi pikiran yang jernih tidak mendapat tempat dalam pembuatan film. Terlalu rumit dan bahaya jika kamu tidak berada dalam kondisi yang paling baik.

10. Hukum Murphy.
Apa yang terlihat akan berjalan salah, akan berjalan dengan salah. Jika segala sesuatu dipersiapkan dengan hati-hati, kamu akan memiliki produksi yang bagus. Persiapan yang kurang adalah anti-tesis dari pembuatan film itu sendiri. Menurut pemikiran saya, film dibuat pada saat pra-produksi sedangkan proses produksi hanyalah proses dimana kita sekedar mengambil gambar. Membuat film seperti membangun rumah. Kita tidak akan membangun apapun tanpa persiapan yang matang. Film juga sama. Naskah yang bagus, aktor yang bagus, pra-produksi yang bagus, akan menghasilkan film yang bagus.


Robert Nickson
Profesor Nickson adalah seorang produser film independent dan juga bagian dari Orenda Films, sebuah perusahaan pembuat film di New York dan sudah menyelesaikan empat feature film sejak tahun 1992.
Karya-karyanya antara lain : No Way Home (1995), dibintangi oleh Tim Roth, Deborah Unger dan James Russo. Film lainnya termasuk : The Search For One-Eye Jimmy, dibintangi oleh Nicholas dan John Turturro, Steve Duscemi, Jennifer Beals, dan Samuel L. Jackson; Auf Wiedersehen America (Cannes festival Director’s Fortnight Selection, 1995); dan Pen Pals, diproduksi untuk Tokuma Studios Jepang.
Sebelum itu, dia bekerja sebagai Production Controller dan Production Manager diantara major studio dan independent productions. Dipercaya pada beberapa produksi teater seperti : Jungle Fever, Mo’ Better Blues, Iron and Silk, Bloodhounds of Broadway, Fathers and Sons, Do the
Right Thing, Spike of Bensonhurst, Street Smart, The Beat, dan juga In Ours Hand, sebuah film dokumenter panjang, pemenang dari The Golden Ducat, film terbaik, Manheim Festival.
Profesor Nickson mengajar film production pada New York University’s Graduate Film School sejak tahun 1985. Dia juga mengajar di beberapa program pengajaran film di Amerika Serikat, Eropa dan China. Profesor Nickson menerima gelar B.A. dari Dartmouth College dan gelar M.F.A. dalam film dari N.Y.U.’s Graduate Film Program.


Sumber: www.howtomakeyourmovie.com
*Pnrj : Penerjemah.

Diterjemahkan oleh:
PD PRANANDA
Kasetbekas Pictures

Kamis, September 11, 2008

Berakhir Sudah

Berakhir sudah…
Bukan, bukan apa-apa. Saya hanya mengomentari diri saya sendiri. Karena pada rabu malam itu, secara resmi saya digantikan oleh ketua baru FFM, Yulius Pramana Jati, atau yang lebih akrab oleh kita dengan nama Jati.

Bukan maksud saya juga, ketika mengatakan “berakhir sudah”, saya akan langsung meninggalkan FFM. Tidak! Saya tidak akan meninggalkan FFM. Seperti kawan saya, Arie Surastio, saya akan tetap berusaha membantu apapun yang saya bisa lakukan untuk FFM.

Ketika saya mengatakan “berakhir sudah”, saya hanya teringat waktu-waktu yang dilalui bersama. Saya merasa sedih, karena mungkin selama menjadi ketua FFM, terdapat banyak kekurangan pada diri saya sendiri. Maka pada saat ini, berakhir sudah masa-masa dimana apresiasi kawan-kawan yang kurang terakomodir, masa dimana FFM masih mencari “bentuknya”, masa dimana awan-awan kemulus masih menutupi langit-langit FFM. Sekarang, langit-langit itu berubah menjadi cerah, biru dan terang. Jati dan kawan-kawan pengurus baru akan mencoba menghiasinya dengan lebih bersemangat.

Saya ingin berterima kasih dan menyampaikan maaf pada kawan-kawan pengurus yang lama, yang telah membantu saya selama setahun belakangan ini. Tanpa semangat kawan-kawan, saya bukan apa-apa. Dan jika masih ada sesal yang tertinggal, baiklah jika itu ditimpakan pada saya saja.

Film sudah merupakan jalan hidup saya. Hampir setiap detik yang saya lakukan ialah untuk film. Saya mencintai film lebih dari saya mencintai kekasih saya. Ketika pertama kali saya membuat film di tahun 2004, judulnya “Kenangan”, saya tidak menyangka semangat itu terjaga hingga saat ini. Semangat yang mungkin diremehkan oleh beberapa orang. Semangat yang mungkin hanya dipandang sebelah mata. Namun dari semangat itulah, FFM hadir ditengah-tengah warga MMTC. Bukan sebagai organisasi yang sok mengerti soal film, tapi sebagai organisasi yang mencari hal baru dan sebagai arena untuk bertukar pikiran dan belajar.

Pada pertemuan rabu malam itu, kawan-kawan yang hadir sudah bertekad untuk lebih menyatukan komunitas-komunitas film yang ada di MMTC. Unity! Itu yang mungkin menjadi target utama FFM tahun ini. Sudah cukup prasangka-prasangka buruk yang beredar sesama filmmaker di MMTC. Sudah cukup perkataan-perkataan yang menjatuhkan pihak lain. Mari kita bangun sebuah atmosfer yang sehat, yang bersahabat dan damai. Tugas kita hanya membuat film, bukan mencari kedudukan yang superior seperti yang kita lihat pada partai-partai busuk di negara kita.

Akhir kata, saya ingin mengutip perkataan kawan saya, Arie Surastio. “Kalau ada yang mencibir kita dengan mengatakan bahwa FFM itu eksklusif, maka jawablah dengan tegas. Ya! Kami eksklusif! Karena kami mengerjakan segala sesuatu dengan profesional. Dengan sungguh-sungguh”. Kita bukan hanya sekedar organisasi yang “daripada tidak ada kegiatan di kampus”. Ini organisasi serius! Seserius cita-cita kita untuk memberikan alternatif tontonan yang baik pada masyarakat Indonesia.

Selamat bertugas kawan-kawan…
God, The Biggest Creator akan bersama kita…
Regards…

PD Prananda
Mantan Ketua FFM

Rabu, September 10, 2008

Ramadhan Cinema - Perubahan Waktu

Karena adanya halangan teknis, maka film TASTE OF CHERRY ditunda pemutarannya hingga hari kamis tanggal 18 September 2008.

Untuk hari kamis tanggal 11 September 2008, kami akan menggantinya dengan film AYAH ADIK dan KOMIDI PUTAR.

Mohon maaf dan harap maklum.

Terima Kasih.

Selasa, September 09, 2008

TOPENG LORENG

Sebuah dokumentasi tentang tarian tradisional bernafaskan Islam dari Temanggung, Jawa Tengah. Seni tardisonal yang satu ini merupakan ajakan berbuat kebaikan dan beradab, namun tidak menggurui. Hal itu tercermin dalam syair dan gerak tarian yang bercampur dalam gerakan harmonis.

Kesenian Topeng Loreng terdiri dari 3 babak, yaitu Ndaya'an, Pak Monol dan Topengan. Ndaya'an ialah sebuah gerak tari yang mengibaratkan prajurit Pangeran Diponegoro yang sedang membabat hutan untuk syiar Agama Islam. Kemudian Pak Monol ialah babak dimana penonton disajikan sebuah komedi yang menghibur namun tetap menyelipkan nilai-nilai kebajikan. Sedangkan babak Topengan ialah babak dimana penonton disajikan sebuah aksi mistis (kesurupan) dari para pemainnya. Hal yang sama dapat kita jumpai juga dalam kesenian Kuda Lumping.

Topeng Loreng memang tidaklah terlalu "tua" dibandingkan dengan kesenian lain yang sejenis. Dibentuk pada tahun 1991, Topeng Loreng tetap eksis hingga saat ini. Sebuah kesenian yang apapun misi dan bentuknya, tetap merupakan khasanah baru bagi kesenian tradisional di Indonesia.

Film ini, atau lebih tepatnya feature, diproduksi oleh kawan-kawan HAVE NO HEART FILM, dan disutradarai oleh Ahmad Haris Prasetyo. Satu catatan yang mungkin bisa dikemukakan terkait dengan produksi ini ialah, musik ilustrasi. Pemakaian musik modern (rock) malah menampilkan kontradiksi dari pembahasan feature ini, yaitu seni tradisional. Namun, apapun itu, Haris dan kawan-kawan HAVE NO HEART FILM, telah menambah wawasan kita tentang seni tradisional di Indonesia.

Salut!

NB : Film ini akan menjadi pembuka di Cinema Ramadhan tanggal 11 September 2008.
Datang dan saksikan.

Senin, September 08, 2008

Jiwa Skenario Tua


"Skenario yang tidak berjiwa adalah skenario yang telah menjadi bangkai dan tidak layak difilm-kan, karena kesudahannya akan mengecewakan penonton. Maka itu, pengetahuan bagaimana skenario harus diberi jiwa tetap merupakan bagian yang penting bagi seorang penulis skenario. Seorang penulis skenario yang baik, sebelum menyusun skenarionya, terlebih dahulu merancangkan "penjiwaan" termaksud. Hal ini dalam dunia film disebut "Plot construction", atau membentuk satu plot, membentuk satu kejadian untuk difilm-kan."


Itulah kutipan kalimat dalam buku berjudul "Beladjar Membuat Film" terbitan ENDANG djakarta tahun 1954 (cetakan I). Buku ini ditulis oleh Tann Sing Hwat (Penulis Skenario & Sutradara "BAWANG MERAH, BAWANG PUTIH", "SIAPA DIA?", dan "TERSADAR"). Dengan tebal 116 halaman dan penampang kertas berukuran 22.5cm X 14cm, buku ini sangat enak untuk dipegang. Sintax yang meletup-letup menyertai terus dari awal kata pengantar hingga penutup, perbendaharaan kata yang masih dicampur-campur (Belanda-Inggris) membuat saya memiringkan kepala sekitar 45 derajat. Pembahasan yang cukup lengkap mulai formasi kru beserta tanggung jawabnya yang paling ideal pada waktu itu, hingga tahap paska produksi yang lebih di intens-kan kepada teknik editing film ketimbang distribusi.

Tegas, tapi masih absurd, itu yang saya rasakan (mungkin bisa dikarenakan ejaan lama dan rotasi kultural yang terjadi). Menyimak bagian-bagian pokoknya sedikit berbeda dengan teori pada masa kini, dan generalisir bahwa pembaca adalah orang awam mengenai film memang keputusan yang tepat mengingat tenaga-tenaga ahli film pada waktu itu kebanyakan didatangkan dari luar negeri ke indonesia, sehingga Tan (bisa dikatakan dengan golongannya) merasa terus-terusan bersaing dengan pekerja asing tadi dan tidak punya cukup waktu untuk mewariskan pengetahuan filmnya kepada golongan muda, maka disempatkanlah beliau menulis buku ini dengan segala pengetahuan yang ada kala itu.

Sangat patut ditiru seorang yang ahli menganggap ilmu yang dimiliki bisa dipelajari oleh siapapun tanpa terkecuali (akademisi/non-akademisi). Terbebas dari itu semua, kata penutup dalam buku inilah yang menjadikan semangat tersendiri bagi saya, ajakan yang lugas dan sangat bersimpati mengingat Indonesia saat itu masih berumur 9 tahun sebagai sebuah negara, berikut kutipannya :

"Bukan maksud saya, bahwa dengan buku ini pembaca sudah boleh henti mencari pengetahuan dalam dunia film. Tidak! pengetahuan film terlalu luas untuk orang boleh henti sampai disini saja, maka saya menganjurkan, supaya pembaca suka pula mencari pengetahuan itu dari buku-buku lain, baik dari buku-buku yang berbahasa asing, maupun yang berbahasa Indonesia. Demikian, selanjutnya saya mengucapkan selamat berpisah."




Arie Surastio
Matekstosi IV

Minggu, September 07, 2008

The Father The Sister and The Carrousel


This simple film narrated three plots. Diastri that wanted to see the Carrousel, Lian that wanted to buy her little sister a bicycle, and Jenny that wanted to meet his father. The plot proceeded in their determination in achieving his aim. A hard work will produce the extraordinary achievement. The film directed by the director Arie Surastio this took the location shooting in Surabaya that was hot and occasionally “tidak bersahabat”. This film was enough to be different from Arie films beforehand that tended contemporary and was difficult to be understood. The FATHER the SISTER AND THE CARROUSEL was enough to find it easy to be followed but not significant so easy like available films in our television. 38 students MMTC helped Arie in producing this film. They came from the jumping film communities the number in MMTC. A hard work that ought to be pointed out the thumb. Although having several quite painful matters that were caused by the third party, but this film stayed essential for several crew of Comulus Film.

Short Film Hubad

Referensi Video nih...

Me: Girl takes pic of herself every day for three years

Ayah Adik dan Komidi Putar – Movie Reviews


Film sederhana ini mengisahkan tiga plot. Diastri yang ingin melihat Komidi Putar, Lian yang ingin membelikan adiknya sebuah sepeda, dan Jenny yang ingin menemui ayahnya. Jalan cerita berputar pada keteguhan hati mereka dalam mencapai tujuannya. Sebuah kerja keras akan menghasilkan pencapaian yang luar biasa.
Film arahan sutradara Arie Surastio ini mengambil lokasi syuting di Surabaya yang panas dan kadangkala “tidak bersahabat”. Film ini cukup berbeda dengan film-film Arie sebelumnya yang cenderung kontemporer dan susah dimengerti. AYAH ADIK DAN KOMIDI PUTAR cukup mudah diikuti namun bukan berarti kacangan seperti sinetron-sinetron yang ada di televisi kita.
38 orang mahasiswa MMTC membantu Arie dalam memproduksi film ini. Mereka berasal dari komunitas-komunitas film yang berhamburan banyaknya di MMTC. Sebuah kerja keras yang patut diacungi jempol. Walaupun ada beberapa hal yang cukup menyakitkan yang dikarenakan pihak ketiga, namun film ini tetap esensial bagi beberapa kru Comulus Film.

Sabtu, September 06, 2008

TVC HUT Jogja

Soendari

Taste Of Cherry Reviews


Taste of Cherry (Iran, 1997) disutradarai oleh Abbas Kiarostami

Sutradara Iran terkenal Abbas Kiarostami tidak pernah tergesa-gesa, terutama ketika memburu pertanyaan tak lekang waktu seperti Mengapa kita harus bertahan hidup ? melawan kemalasan. Film beralur lambat Taste of Cherry berkisah seorang pria setengah baya berkeliling di luar Teheran untuk mencari seseorang yang menguburkan tubuhnya setelah ia bunuh diri nanti.

Saksikan di Join Lecture Studio 2 MMTC jam 3 sore.
Ada menu buka gratis!!!

Tips dari David Horatio

Ini ada beberapa tips buat sutradara pemula. Semoga bermanfaat…


DEALING WITH ACTORS
By David Horatio (an independent producer and director)

Beberapa kesalahan yang sering dibuat oleh filmmaker baru dalam hal hubungan antara sutradara dan pemain :

1.Memperlakukan pemain seperti manusia setengah dewa.
Kalau pemainmu bertindak buruk, segera pecat dia tanpa ampun. Kecuali kalau nama pemainmu menghasilkan uang yang banyak pada proyekmu, tak ada satu pemain atau kru yang boleh bertindak indisipliner.

2.Lebih banyak berbicara tentang arti dari proyekmu daripada materi visi.
Mungkin inilah kesalahan paling umum yang dilakukan sutradara. Sutradara suka berbicara tentang tema dan metafora, tapi pemain tidak bisa bekerja dengan tema dan metafora. Kamu tidak sedang menulis sebuah tugas bahasa inggris, tapi kamu sedang membuat film!

3.Bekerja dengan pemain amatir.
Kamu tidak kaya. Kamu tidak terkenal. Kamu tidak bisa menyewa pemain profesional. SALAH! Saya berani bersumpah atas nama Tuhan, kamu bisa menyewa pemain profesional. Kamu tidak perlu meng-casting saudara tiri kamu (misalnya) untuk mencari pemain. Masalah malah akan datang. Menyewa pemain profesional memerlukan beberapa prosedur dan etika tertentu. Saya akan mengatasi bagaimana kamu akan seperti profesional dalam beberapa menit.

4.Sedikit menggunakan waktu untuk berlatih, atau yang lebih buruk, tanpa latihan.
Jadi kamu hanya menghabiskan waktu beberapa menit untuk “warm up” lalu sesudah itu langsung shooting. KESALAHAN BESAR PARA PEMULA! Mungkin iya kalau kita berada di ranah televisi. Aktor mempunyai waktu satu minggu (atau kurang) untuk membaca, mengingat, dan latihan 50-60 lembar naskah. Tapi untung saja kamu tidak bekerja di televisi (kalau iya, saya bersimpati padamu). Aktor membutuhkan waktu dan perhatianmu untuk membangun karakter, membangun adegan, dan membuat film yang membuatmu bangga. Banyak sutradara yang tidak mengambil waktu dalam proses ini dan akhirnya membuat banyak kekurangan dalam filmnya.

5.Menolak kritik dari para profesional.
Kalau kamu masih membaca tips ini, kamu mungkin tidak mempunyai masalah dengan itu, tapi tidak banyak membantu dalam proses kualitas kerja penyutradaraan. Bahkan profesional yang suksespun harus memasang telinga pada informasi dan petunjuk-petunjuk baru. Di Hollywood seringkali pada saat sutradara membuat film yang sukses, ego mereka mengambil alih. Dan mereka berasumsi setiap langkah yang mereka ambil adalah langkah yang terbaik. Suatu saat proyek mereka akan lumpuh dan karir mereka tidak akan mengalami kemajuan.

6.Menerima kritik yang tak bernilai dari teman dekat dan rekan kerja.
Apakah teman dekatmu mengerti bagaimana mengarahkan aktor? Mungkin tidak. Pacarmu? Tak mungkin. Jangan sembarangan menerima kata-kata dari orang lain. Tips penyutradaraan yang bagus ialah diantara yang “sedikit dan jauh”.

Kamis, September 04, 2008

ORDE BARU FFM

Menyikapi kritik kawan-kawan MMTC

Dalam dunia politik dan sejarah bangsa kita, kata orde baru memang mempunyai suatu makna yang sangat dalam. Dalam pada masa itu, Indonesia menjadi “macan asia”(meminjam perkataan Prabowo Subianto dalam salah satu iklannya). Pembangunan terjadi dimana-mana. Taraf hidup masyarakat membaik. Namun dibalik itu, setan-setan korupsi menggerogoti Indonesia pelan-pelan. Puncaknya pada tahun 1998, Soeharto lengser, begitu juga dengan Orde Baru.

Apa kaitannya tulisan ini dengan kisah diatas? Sebenarnya tidak ada kaitan apa-apa. Saya hanya berfikir FFM saat ini mungkin memasuki orde baru, suatu masa “pembangunan”, dimana setahun belakangan ini, kalau boleh saya bilang, adalah masa Orde Lama FFM. Masa dimana kami, para pengurus FFM pada waktu itu, baru mencoba mencari atau berusaha menemukan suatu bentuk yang terbaik untuk organisasi ini. Memang pada masa itu banyak sekali kekurangan yang terdapat pada FFM, dan mungkin hal itu juga yang menyebabkan beberapa kawan-kawan di MMTC menyampaikan kritik kepada saya, maupun pengurus yang lain. Untuk itu, baiklah saya mencoba untuk memberikan kilas balik tentang FFM itu sendiri, sekalian juga mencoba menyikapi kritik kawan-kawan.

FFM pada awalnya hanyalah hasil iseng-iseng saya dan kawan-kawan yang merasa ingin punya suatu wadah, perkumpulan, komunitas, atau apalah namanya itu, yang sama-sama mempunyai minat dan apresiasi yang besar dalam bidang film. Film disini tidak terbatasi antara film fiksi maupun dokumenter, film panjang maupun pendek, film (seluloid) atau video, yang jelas kami hanya kenal pada satu istilah yaitu : film itu sendiri. Kami menamakan wadah itu Forum Film MMTC, karena awalnya kami menganggap FFM hanya tempat atau forum untuk ngobrol-ngobrol ataupun sharing dengan kawan-kawan tentang sejarah film dan perkembangannya. Pada waktu itu, tidak ada keseriusan dari kami untuk membuat FFM menjadi sebuah organisasi yang mempunyai ketua dan pengurus, AD-ART dan segala macam tetek bengeknya. Namun kemudian ada beberapa kawan lain di MMTC yang ingin bergabung dengan kami dan menyarankan agar FFM bisa menjadi organisasi payung bagi komunitas-komunitas film yang ada di MMTC. Awalnya kami sempat ragu, karena kami menganggap bahwa diri kami pun masih belum mengerti apa-apa soal film, kami masih harus banyak belajar dari komunitas-komunitas lain yang sudah lebih dulu berdiri. Apalagi dari awal (hingga kini, mungkin), kami merasa tidak mendapat dukungan dari lembaga (MMTC). Kami dianggap keluar jalur, karena materi perkuliahan yang ada di MMTC ialah materi broadcast (televisi & radio), jadi lembaga menganggap tidak ada “tempat” untuk “film”. Namun segala kesusahan dan kesukaran itu tidak membuat kawan-kawan FFM mundur. Kami tetap saja mendirikan FFM dengan ketuanya saya sendiri. Pada waktu itu kami tidak berharap banyak dari organisasi ini. Kami menganggap organisasi ini hanyalah organisasi "underground" dibanding dengan organisasi atau unit kegiatan lain yang ada di MMTC.

Pelan tapi pasti, FFM mulai berkembang dengan masuknya kawan-kawan yang terlibat menjadi pengurus. Kami mencoba mengadakan kegiatan-kegiatan yang bisa memuaskan apresiasi kawan-kawan lain dalam bidang film. Dari roadshow film hingga kegiatan terakhir yaitu Parfim 2008. Namun seiring dengan perkembangan FFM, banyak pula hambatan-hambatan yang FFM temui. Misalnya dukungan dari kampus yang minim. Sedikit intermezzo, kegiatan kawan-kawan FFM pernah dihentikan hanya gara-gara tempat yang ingin dipakai ternyata sudah disewa oleh pihak luar MMTC. Akhirnya kami mengalah karena kami sendiri merasa tidak punya kekuatan melawan sistem yang ada di MMTC. Hambatan kedua datang dari jadwal kuliah kawan-kawan pengurus sendiri. Kita semua mengerti, kurikulum yang ada di MMTC ialah kurikulum yang diperuntukkan pada Strata-1 atau S1. Dan kurikulum itu biasanya ditempuh dalam waktu lima tahun. Namun di MMTC, kita harus menempuhnya dalam waktu 4 tahun. Bisa dibayangkan betapa susahnya kami sebagai pengurus untuk membagi waktu. Lalu hambatan ketiga yaitu, mohon maaf, adalah kurangnya dukungan dari mahasiswa MMTC sendiri. Pada beberapa pemutaran film, ataupun kegiatan seperti workshop film, hanya beberapa gelintir mahasiswa saja yang hadir (atau kalau boleh disebut hanya pengurus FFM saja yang hadir).

Hambatan-hambatan tersebut diatas, bukan dimaksudkan untuk pembelaan diri FFM. Tetapi lebih pada pengungkapan kenyataan yang ada di FFM setahun terakhir ini, agar kawan-kawan MMTC dapat mengerti bagaimana sebenarnya FFM itu. Saya menyambut baik setiap kritikan yang dilontarkan pada saya dan pengurus FFM lainnya. Karena saya juga yakin, dari kritikan-kritikan itu, menunjukkan bahwa kawan-kawan MMTC masih peduli dengan perkembangan FFM. Untuk itu saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada kawan-kawan yang sudah memberikan kritikannya.
Kembali pada pembahasan awal, mengenai Orde Lama dan Orde Baru. Saya menganggap bahwa FFM telah memasuki babak baru atau orde baru. Pergantian pengurus tentu akan membuat suasana organisasi yang lebih segar. Banyak rencana program-program yang lebih segar, tidak hanya melulu pemutaran film seperti pada masa FFM orde lama, namun pengurus sekarang juga lebih masuk dalam ranah lain seperti musik misalnya. Namun saya juga tidak mengharapkan FFM orde baru akan sama nasibnya dengan Orde Barunya Pak Harto, lengser dengan sangat menyedihkan. Saya berharap para pengurus FFM yang baru lebih dapat mengurus organisasi dengan lebih baik, lebih bersemangat, lebih riang gembira. Tidak perlu terlalu memaksakan diri, hingga malah membuat kesusahan. FFM dapat langgeng saja, itu sudah cukup. Mengingat kawan-kawan sendiri hanya berada di MMTC selama 4 tahun, tidak mungkin kita terus hanya ngurusin FFM. Tentu banyak hal lain yang perlu diutamakan demi masa depan kita sendiri.

Akhir kata, saya mengucapkan selamat datang pada para mahasiswa baru, dan juga selamat bertugas untuk para pengurus baru FFM yang akan segera dibentuk. Tidak lupa juga saya sangat mengharapkan dukungan dari kawan-kawan MMTC seluruhnya demi kelanggengan FFM sendiri.

Mari kita buat kedamaian yang nyaman di MMTC…
Dan Selamat Berpuasa....

PD Prananda
Penulis adalah penggiat di Kasetbekas Pictures.