Sabtu, Maret 28, 2009

Kausa Prima Pembuat dan Penonton

Artikel kali ini datang dari sebuah kepedulian, menyikapi banyaknya film-film hantu produksi dalam negeri yang tak kunjung meraih sebuah antrian panjang penontonnya. Namun sebelum itu, inti dari pada buah pemikiran penulis, ternyata telah terlebih dahulu di tuangkan pada sebuah pengantar tentang pelestarian film di Indonesia oleh seorang pustakawan, Kalarensi Naibaho. Jadinya, berikut saya kutipkan saja apa yang telah ditulis oleh beliau,

"apresiasi hanya dapat tercipta jika pekerja seni memahami apa yang dibutuhkan masyarakat. Artinya, masyarakat akan memberikan apresiasi terhadap film jika film tersebut memang sesuai dengan keinginan mereka. Sekarang ini, pekerja seni, para pembuat film atau sinetron sering sekali mengumbar pernyataan bahwa masyarakat kita butuh mimpi, dan itulah yang diberikan oleh dunia sinema. Para sineas selalu berpatokan pada apa yang mereka sebut dengan ’pasar’. Menurut mereka, apa yang sedang booming di masyarakat, itulah pasar. Kalau saat ini semua layar lebar dan layar kaca penuh dengan adegan ’hantu’, maka pasarnya memang demikian. Mungkin betul. Tapi kita lupa bahwa pasar itu sebetulnya dibuat dan ditentukan oleh para pembuat film itu sendiri. Penonton, sebagai konsumen tidak mempunyai kuasa untuk mengatakan bahwa mereka tidak menginginkan film atau sinetron seperti itu. Penonton sebetulnya hanya sebagai ’korban’. Jika sampai saat ini bioskop masih tetap penuh, sebetulnya karena penonton memang tidak punya pilihan. Sementara mereka butuh hiburan. Maka, kalau ditelisik lebih mendalam, bukan masyarakat yang menentukan pasar, tapi pembuat film lah yang ’memaksa’ masyarakat membuat pasar itu. Itu sebabnya, masyarakat mudah sekali beralih jika ada pembanding, film asing misalnya." - Kalarensi Naibaho-

Apresiasi dibutuhkan sekali oleh film, karena media gambar bergerak ini tidak lagi dimaknai sekedar sebagai karya seni (Film As Art) tetapi lebih sebagai 'praktik sosial' (Turner, 1991)serta 'komunikasi massa' (Jowett & Linton, 1981). Film saat ini secara cepat dan luwes bisa 'hidup' berdampingan saling menguntungkan bersama-sama masyarakat penikmatnya. Ada baiknya juga jika hubungan para pembuat dan masyarakat penikmat lebih bisa terbuka lagi, mengingat betapa berpotensinya kemampuan mendidik yang bisa dilakukan oleh film. Mungkin saat ini begitu terbatasnya masyarakat yang mengetahui landasan ideologi para pembuat dalam menciptakan sebuah karya film, padahal, disinilah sebenarnya letak interaksi sosial pembuat dan penonton. Sebaliknya, diperlukan kepekaan yang luar biasa bagi para pembuatnya, untuk bisa mengangkat tema-tema cerita yang sedang dibutuhkan oleh penonton (jika memang akan melayani pasar). Bisa saja hal-hal tersebut menjadi musykil untuk bisa terjadi, apabila kedua belah pihak bergerak hanya dalam batas ekspektasi tanpa bantuan sebuah media yang mampu mengakomodirnya, televisi, misalnya.

Arie Surastio
Matekstosi IV