Selasa, Desember 22, 2009

Parade Film MMTC 2010

Bicara mengenai broadcast, belakangan ini tampak ada suatu titik yang terang hingga menjadi suatu primadona dalam ruang pandang dan dengar masyarakat heterogen saat ini. Mereka mencoba mencari tahu apa dan bagaimana sebenarnya broadcast itu. Tak jauh dari uraian mengenai broadcast itu, hadirlah MMTC sebagai salah satu sekolah multi media di Yogyakarta. Dengan label Sekolah Tinggi Multi Media “Multi Media Training Centre”, MMTC menghadirkan beragam referensi mengenai dunia broadcast itu sendiri. Tentang news, tentang entertain dan juga teknis. Itu hanya sebagian kecil dari setiap pembiasan tentang broadcast. Masih banyak lagi referensi – referensi yang dihadirkan oleh MMTC mengenai pembiasan dari broadcast itu sendiri.

Dari MMTC ini pula kemudian lahir FFM atau Forum Film MMTC. Berangkat dari adanya persamaan ide dan pikiran yang dimiliki oleh sekelompok individu, khususnya di bidang perfilman, FFM kemudian terbentuk, sebagai ajang pengembangan kualitas dalam berfilm. Kemerdekaan berpikir, berpendapat, bersikap, menjadi semangat awal yang disepakati bersama. Paling tidak, dari mulai sekedar kumpul–kumpul dan ngalor ngidul, sampai diskusi tentang bagaimana idealnya sebuah film telah dilakukan. Tentu, ini sebuah keberanian dari sudut pandang tertentu. Proses berkelompok menjadi lebih bermakna. Atmosfer komunikasi atau hubungan antar pribadi atau dengan siapapun menjadi tetaplah fleksibel. Dan begitulah Forum Film MMTC terbentuk.

Menilik perkembangan film di Indonesia belakangan ini seperti kembali terangkat. Setelah beberapa tahun terakhir itu, film di Indonesia sempat mati suri, antara ya dan tidak. Namun, secara pelan tetapi pasti, film di Indonesia perlahan


bangun, mencari kembali keeksisannya. Kemudian, atas kembalinya keeksisan film di Indonesia itu, film yang biasa disebut dengan film independent juga seperti tersihir untuk muncul memeriahkan dunia perfilman dengan beragam kreatifitas dan rasa “nyeni” yang tinggi. Film ini menjadi media ekspresi sekaligus tafsir sosial budaya atas realitas terdekat dengan tidak meninggalkan masyarakat sebagai apresiator utama. Oleh karena dasar-dasar ilustrasi pemikiran di atas, Forum Film MMTC berkeinginan untuk membangkitkan pula gairah perfilman di MMTC itu sendiri. Forum Film MMTC atau FFM pula menjadi sebuah media untuk menunjukkan bagaimana keeksisan dunia film di kampus MMTC.

Hal-hal di atas menjadikan kami, FFM, ingin melanjutkan sebuah ajang perfilman independent yang pernah diadakan dua tahun silam, yakni PARFIMM tahun 2010 (Parade Film MMTC). Pada kesempatan ini, kami tidak hanya membuka PARFIMM untuk kalangan terbatas (sebatas MMTC), namun kami akan membuka untuk umum (se-DIY) agar semua dapat mengapresiasikan sebuah ide yang divisualisasikan dan berkompetisi secara sehat.

Kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari banyaknya penciptaan karya film fiksi pendek dari mahasiswa Multimedia Training Centre Yogyakarta (MMTC), hasrat akan terus berkesenian akhirnya melahirkan sebuah pemikiran untuk menciptakan kompetisi karya yang ke depannya sanggup di nanti-nantikan khususnya oleh para mahasiswa MMTC. Support moral dirasa harus di berikan kepada sebuah karya dan seniman pembuatnya, yang sendirian memikul harapan–harapan besar.

Tagline PARFIMM 2010: Makarya Ingkang Prasaja. Mudah–mudahan dengan semangat berkompetisi dan menjunjung tinggi nilai sportifitas sebagai dasar dari segala dasar sebuah jiwa kompetisi, akan memacu untuk berkarya lagi dan tetap betah hingga mampu menambah kemampuannya dalam mencapai suatu estetika.. Mari membuat, disiplin, berkompetisi dan menghargai!

PARFIMM 2010 terbagi menjadi 9 kategori pemenang:
1. Film Terbaik
2. Film Favorit
3. Skenario Terbaik
4. Sutradara Terbaik
5. Sinematografi Terbaik
6. Penata Suara Terbaik
7. Editor Terbaik
8. Penata Artistik Terbaik
9. Lomba Penulisan Skenario Film Pendek Fiksi Terbaik (beda dengan kompetisi film)

Seluruh karya, baik film ataupun naskah skenario akan dinilai oleh 9 juri yang berkompeten dan menjunjung tinggi sebuah ide. Seluruh pemenang kategori akan mendapatkan trophy, piagam, dan uang pembinaan.

Batas pengiriman film dan skenario: 8 Januari 2010, di STMM MMTC.

Persyaratan dan Formulir bisa kawan-kawan download, di bawah ini:

PERSYARATAN & KETENTUAN KELENGKAPAN PARFIMM 2010
FORMULIR KOMPETISI FILM
FORMULIR LOMBA PENULISAN NASKAH SKENARIO FILM PENDEK FIKSI



Salam Semangat!

Sabtu, Desember 19, 2009

FFI 2009

JAKARTA - Malam puncak Festival Film Indonesia (FFI) usai digelar. Terjadi kejar mengejar piala antara film Identitas dan film Mereka Bilang, Saya Monyet!.

Film Identitas yang disutradarai Aria Kusumadewa meraih empat penghargaan. Disusul film Mereka Bilang, Saya Monyet! yang digarap Djenar Maesa Ayu meraih tiga penghargaan.


Berikut ini para pemenang Festival Film Indonesia (FFI) yang di selenggarakan pada Rabu, (16/12/2009) di Hall D1, Kemayoran, Jakarta.

Film Terbaik: Identitas (PT. Esa Khaqiva & PT. Citra Sinema)

Skenario Asli Terbaik: Sally Anom Sari & Samaria Simanjutak (Cin(T)a)

Skenario Adaptasi Terbaik: Djenar Maesa Ayu & Indra Herlambang (Mereka Bilang, Saya Monyet!

Sutradara Terbaik: Aria Kusumadewa (Identitas)

Pemeran Utama Pria Terbaik: Tio Pakusadewo (Identitas)

Pemeran Utama Wanita Terbaik: Titi Sjuman (Mereka Bilang, Saya Monyet!)

Pemeran Pendukung Pria Terbaik:Reza Rahadian (Perempuan Berkalung Sorban)

Pemeran Pendukung Wanita Terbaik: Henidar Amroe (Mereka Bilang, Saya Monyet)

Penyunting Terbaik: Wawan I. Wibowo (Pintu Terlarang)

Penata Sinematografi Terbaik: Ipung Rahmat Syaiful (Pintu Terlarang)

Penata Artistik Terbaik: Kekev Marlov (Identitas)

Penata Suara Terbaik: Shaft Daultsyah & Khikmawan Santosa (Ruma Maida)

Penata Musik Terbaik: Aksan Sjuman & Titi Sjuman (King)

Lifetime Achievement: Sophan Sophian

Film Anak-anak Terbaik: Garuda Di Dadaku

Film Dokumenter Panjang Terbaik: Ayam Mati di Lumbung Padi (Darwin Nugraha)

Film Dokumenter Pendek Terbaik: Last Journey (Endah WS)

Film Pendek Terbaik: Sabotase (Hadrah Daeng Ratu)

Sutradara Pendatang Terbaru Terbaik: Djenar Maesa Ayu (uky)



(sumber: okezone.com)



Selamat untuk para pemenang. Maju terus perfilman Indonesia! :)

Senin, Oktober 12, 2009

Kompetisi Film Pendek HelloFest 6




PENGHARGAAN
Juara 1 HelloFest 6 (Pilihan Penonton)
Hadiah Yahud dari Detik.Com - iMac

Juara 2 HelloFest 6 (Pilihan Penonton)
Hadiah dari Cams Solution

Special Jury Prize HelloFest 6 (Pilihan Juri HelloFest)
Hadiah dari Sponsor



CARA IKUTAN

DOWNLOAD & isi formulir pendaftaran dengan lengkap.
Pendaftaran tidak dipungut biaya.
Jika kamu ingin mengirim lebih dari 1 karya, kamu dapat mengkompilasinya dalam 1 Kaset Mini Dv / DVD / CD, jangan lupa mengisi 1 formulir per karya.
Kirim formulir & materi karya ke :
HelloFest 6
Jl. Tebet Raya 45 C
Jakarta 12820 Indonesia

Khusus untuk materi berbentuk file sharing dari Rapidshare, kamu cukup mengirimkan scan formulir dan link Rapidshare yang harus kami download melalui email.

Kami (HelloFest 6) akan menayangkan snapshot karya kamu melalui website kita sebagai tanda karya kamu sudah masuk.
Jika kamu tidak mendengar kabar ( melalui email ) hingga 10 hari setelah masa pengiriman, berarti proses pendaftaran bisa dikatakan gagal.
15 Karya finalis akan kita umumkan pada H-10 melalui email masing - masing.
JENIS KARYA YANG DAPAT DIKIRIM

Kami menerima apapun jenis karya kalian ( mulai dokumenter, video klip, live shoot, animasi, hingga karya yang tidak bisa dikategorikan )

Karya dibuat minimal tahun 2000, dan durasi maksimal 10 menit pas ! (durasi minimal 30 detik )

Kami juga menerima karya yang sudah pernah diikutkan di festival diluar HelloFest.

Format : Mini DV, DV Cam, CD/DVD File (720 x 576 mov/avi), kami tidak menerima format lain diluar ini.

Memiliki minimal 1 dari 3 unsur berikut :

* INOVATIF
Kami suka formula penyampaian serta penggarapan yang tidak lazim, liar, dan tidak terpikirkan oleh orang awam, Karena memang itulah kreator yang sejati, memberi pencerahan dalam hal - hal yang baru.
Contoh : Karya dari Firman Widyasmara - Jakarta. Ia cukup menggunakan kapur dan papan tulis dalam pembuatan animasinya dan ternyata film ini menjadi salah satu karya favorit pilihan penonton HelloFest Vol.2.

* INSPIRATIF
Penonton jangan dibikin mengambang, mereka sudah merelakan duduk untuk menonton karya kalian. Setidaknya kasih pesan yang dapat diserap oleh penonton. Lebih baik lagi jika bisa mempengaruhi pola pikir penonton ke arah yang lebih baik lagi. Tapi jangan coba - coba menggurui penonton, he..he..
Contoh : Karya dari Jangan Menangis Oh Mama Organization - Jakarta. Mereka menyadarkan penonton agar memilih sinetron yang berbobot. Bukan sinetron yang membuang - buang waktu dan membisingkan telinga. Penyampaian yang unik tanpa embel - embel menggurui. Film ini menjadi film dengan jumlah pemilih terbanyak di HelloFest Vol.3.

* TIDAK MEMBOSANKAN
Banyak ekspetasi penonton bahwa karya - karya yang ada di festival biasanya membosankan, aneh dan harus berpikir berat. Buktikan bahwa karya kalian bisa tetap dinikmati dengan tidak membosankan ( tips dari kami, biasanya dengan sedikit unsur komedi atau alur yang dinamis, karya kalian akan berhasil masuk dalam kategori ini ).
Contoh : Karya Tosan Priyonggo - Surabaya. Menampilkan sosok super hero Indonesia dengan penuturan yang sangat lucu. Film ini menjadi salah satu film favorit pilihan penonton HelloFest Vol.4



Info selengkapnya: hellofest6.blogdetik.com

Minggu, Oktober 11, 2009

[Lomba Film dan Foto] KrimOgraphy! "Capturing Women and Violence Phenomenon"

[Deadline 30 Oktober 2009]


The emotional, sexual, and psychological stereotyping of females begins when the doctor says: It's a girl.” – Shirley Chisholm—


Isu perempuan adalah isu sosial yang tidak lepas dari kehidupan sosial masyarakat. Perempuan seringkali digambarkan sebagai manusia yang lemah dan diposisikan sebagai masyarakat kelas dua. Sebagai pelaku kejahatan perempuan seringkali mendapat perlakuan yang bias gender, dengan memandang perempuan yang melanggar hukum sebagai penyimpang ganda, pertama karena ia perempuan yang secara sosial tidak diharapkan melakukan pelanggaran dan yang kedua karena pelanggaran itu sendiri. Berbagai fenomena dan problematika yang dialami oleh perempuan ini terdapat di masyarakat dan diperjelas oleh media massa.

Beranjak dari hal tersebut Himpunan Mahasiswa Kriminologi bermaksud mengadakan kegiatan bertajuk “Perempuan dalam Realita”. Dengan mengangkat tema tentang problematika perempuan serta realitanya dalam kehidupan sehari-hari yang terekam oleh lensa sebagai media yang merupakan sumber fakta untuk berbagai kepentingan, baik sebagai bukti maupun informasi.


Ketentuan dan Persyaratan Lomba:
A. Ketentuan Umum
· Tema Lomba Foto dan Film: “Capturing Women and Violence Phenomenon”
· Foto dan film merupakan kejadian yang sebenarnya atau rekayasa tergantung pada kreatifitas pemotret.
· Foto dan film yang diterima panitia akan dipamerkan selama satu minggu di area FISIP, UI. Pada tanggal 16-20 November 2009.
· Deadline pengumpulan foto dan film adalah tanggal 30 Oktober 2009.
· Setiap foto dan film merupakan karya asli dan isinya menjadi tanggung jawab peserta lomba. Hak cipta merupakan milik peserta lomba, panitia acara hanya akan menggunakannya dalam rangkain acara dan yang tidak berhubungan dengan komersil.
· Setiap karya yang masuk tidak pernah memenangkan atau sedang diikutkan dalam perlombaan.
· Perlombaan ini terbuka untuk umum dalam ataupun luar negeri (kecuali panitia dan seluruh mahasiswa Kriminologi FISIP UI)
· Setiap peserta wajib menggunakan nama asli sesuai dengan identitas resmi (KTP/SIM/Paspor) dan melampirkan fotocopy identitas, dan mencantumkan nomor telepon yang dapat dihubungi.
· Panitia berhak mendiskualifikasi peserta sebelum dan sesudah penjurian apabila dianggap melakukan kecurangan.
· Keputusan Dewan Juri sah dan tidak dapat diganggu gugat.


B. Lomba Film

Hadiah

Juara 1 Rp. 3.000.000,- + Plus Piagam
Juara 2 Rp. 2.000.000,- + Plus Piagam
Juara 3 Rp. 1.500.000,- + Plus Piagam

Persyaratan
· Film dapat berupa film dokumenter, film pendek, feature, asalkan masih sesuai dengan tema.
· Tim beranggotakan maksimal 2-5 orang
· Durasi film maksimal 20 (dua puluh) menit, termasuk opening dan credit title.
· Peserta diharuskan mengumpulkan film dokumenter dalam format MPEG2 dalam DVD atau MPEG dalam CD (3 keping)
· Peserta berhak mengumpulkan maksimal 3 karya.
· Sinopsis ditulis dalam kertas (diketik rapi) dengan maksimal 200 kata.
· Peserta wajib untuk membayar uang pendaftaran
sebesar Rp75.000/karya.


C. Lomba Fotografi

Hadiah

Juara 1 Rp. 2.000.000,- + Plus Piagam
Juara 2 Rp. 1.500.000,- + Plus Piagam
Juara 3 Rp. 1.000.000,- + Plus Piagam

Persyaratan
· Karya foto yang dikirimkan dapat berupa foto berwarna atau hitam putih.
· Pemotretan dapat dilakukan dengan media film ataupun digital.
· Olah digital hanya diperbolehkan sebatas Basic Editing (photoshop brightness/contrast, levels, hue/saturation, cropping tidak diijinkan lebih dari 30% foto asli dan framing)
· Foto dikirimkan dalam bentuk hardcopy satu (1) rangkap ukuran 12R (30x40 cm) dan softcopy dalam satu CD. Foto analog di-scan terlebih dahulu agar dapat ditaruh di dalam CD.
· Peserta berhak mengumpulkan maksimal 5 karya.
· Caption ditulis dalam selembar kertas dengan maksimal 100 kata.
· Data kamera dan foto sebaiknya dilampirkan (untuk share pembelajaran); jenis kamera, diafragma, shutter speed, jenis lensa (optional), serta informasi lain jika ada.
· Peserta wajib untuk membayar uang pendaftaran sebesar Rp35.000/karya.


D.PenerimaanKarya

Himpunan MahasiswaKriminologi
Up: Panitia Krimography
Departemen Kriminologi
Gedung B Lantai 1, Kampus FISIP UI
Depok 16424

E. Pembayaran
Langsung ke Himpunan Mahasiswa Kriminologi FISIP UI
Atau transfer ke BNI Cabang UI, Depok
0162521858 atas nama Elvira
Konfirmasi transfer sms ke (021)93073935 (sdr.Anya) dengan mencantumkan No Rekening dan nama. Bukti transfer dikirimkan
Bukti transfer dikirimkan bersamaan karya.

F. Keterangan Lebih Lanjut

ANYA (021)93073935 - OBETH (021)94011830 - ADJE (085693001102)
Email: krimography@yahoo.com
www.krimography.blogspot.com/

Jumat, Oktober 09, 2009

Young Film Director. Citra Pariwara 2009

PANDUAN PENDAFTARAN YOUNG FILM DIRECTOR

Ajang unjuk diri bagi para sutradara muda berbakat di bawah usia 32 tahun di Indonesia. Dengan kegiatan ini diharapkan akan muncul sutradara-sutradara muda untuk dunia periklanan yang baru dan mampu meningkatkan kualitas iklan Indonesia ke manca-negara. Kompetisi ini mendapatkan dukungan sepenuhnya dari Ikatan Perusahaan Film Iklan Indonesia (IPFII).

PERSYARATAN

1. Warga Negara Indonesia kelahiran 1 Januari 1978 atau sesudahnya (tidak dibatasi apakah peserta sudah bekerja ataupun belum bekerja)
2. Satu peserta dapat mengirimkan lebih dari satu karya
3. Mengirimkan karya iklan televisi yang menceritakan bagaimana kemajuan teknologi, khususnya internet, telah mengubah kehidupan manusia saat ini (Lihat: Penugasan/brief di bawah)
4. Karya dapat diambil dengan segala jenis kamera (mulai dari kamera mobile-phone, kamera compact digital, handycam dan sebagainya)
5. Materi lomba dikirim dalam bentuk digital file yang disimpan di CD/DVD dengan tipe dokumen video MPEG-2 (kompatibel dengan Windows Media Player untuk PC), encoded dengan bit rate antara 8-10 mbps, 25 fps, sistem PAL dengan ukuran 720 x 576. Tanpa color bar, slide identitas iklan (ID Board) dan counter. Narasi/teks versi bahasa Inggris ditampilkan dalam format subtitle di iklan tersebut. Durasi film maksimal adalah 180 (seratus delapan puluh) detik atau 3 (tiga) menit. Harus diberi label judul iklan pada CD/DVD

Karya tersebut, dilengkapi data-data peserta dan Formulir Pendaftaran, didaftarkan selambat-lambatnya 24 Oktober 2009 pukul 17.00 WWIB dengan membayar uang keikutsertaan sebesar Rp 200.000,-/karya ke alamat:

Panitia Young Film Director 2009
Sekretariat PPPI
Jalan Wolter Monginsidi No. 88A, Lantai 2
Jakarta 12170
Tel. 021-9130 6913
Fax. 021-725 2613

Pembayaran biaya keikutsertaan dapat dilakukan dengan tunai atau disetor melalui bank (bukti setor atau transfer wajib dilampirkan pada saat penyerahan/ pengiriman formulir). Pembayaran melalui transfer ditujukan kepada:

PPPI Citra Pariwara
BANK MANDIRI
Cabang Jakarta Gedung Tira
A/C: 124-00-9803536-4

Pembayaran secara tunai dapat dilakukan di Sekretariat. Panitia tidak menerima pembayaran dengan cek tunai.

Karya-karya peserta yang sudah dikirim menjadi hak panitia dan tidak dapat diminta kembali.

PEMILIHAN PEMENANG

Dewan Juri Young Film Director Award 2009 akan memilih 3 (tiga) sutradara muda berbakat terbaik.

PENGHARGAAN & HADIAH

Pemenang akan memperoleh piala dan sertifikat Citra Pariwara yang akan dipersembahkan oleh Ikatan Perusahaan Film Iklan Indonesia (IPFII). Pengumuman pemenang akan dilakukan bersamaan dengan Malam Anugerah Citra Pariwara 2009 pada 20 November 2009.

Pemenang (hanya satu orang) juga mendapat kesempatan menghadiri Asia Pasific Advertising Festival (AP Adfest) 2010 di Pattaya. Biaya peserta, transportasi dan akomodasi ditanggung oleh PPPI. Biaya-biaya lainnya, seperti pembuatan paspor, fiskal, transportasi lokal di Jakarta maupun di Thailand, keperluan/pengeluaran pribadi dan sejenisnya, ditanggung sendiri oleh pemenang.

PENUGASAN YOUNG FILM DIRECTOR 2009

Film adalah anak kandung teknologi.

Mungkin artefak budaya yang paling akrab dengan perkembangan teknologi adalah film. Tidak heran, dari awal kemunculan film, yang menjadi bidan adalah para penemu: Lumiere, Thomas Alva Edison, Max and Emil Skaladanowski.

Sampai sekarang, film dan teknologi terus berhubungan erat. Banyak kemajuan di bidang film yang didahului oleh berbagai penemuan teknologi terbaru. Banyak juga film yang menginspirasikan para penemu untuk bekerja lebih keras lagi, menemukan hal-hal yang diimpikan para pembuat film.

Wajar kalau akhirnya sekarang pembuat film begitu akrab dengan teknologi. Apalagi, teknologi yang berkaitan dengan kepentingan produksi film berkembang dengan begitu cepat dan semakin memudahkan para pembuat film untuk berkarya.

Tapi apakah keakraban antara pembuat film dengan teknologi dibarengi dengan ketajaman mereka mengamati perubahan yang terjadi akibat teknologi?

Apakah pembuat film sadar ada pola-pola yang perlahan berubah, yang sebenarnya terjadi jelas-jelas di hadapan kita.

Komputer-komputer super cepat dengan harga super murah yang membuat semua orang mampu melakukan hal-hal yang sepuluh tahun lalu hanya bisa dilakukan di Hollywood.

Handphone maha pintar yang membuat setiap manusia bisa melakukan segalanya.

Social networking site membuat kita memiliki ekstensi yang luar biasa panjang dan lentur di dunia digital.

Bandwith berukuran raksasa yang mampu mengunduh ribuan file, termasuk film.

Seharusnya ada perubahan pola yang terjadi, karena kita adalah manusia yang selalu menyusaikan diri, demi kelangsungan hidup itu sendiri.

Pola-pola pergaulan yang berubah. Pola pertemanan yang berbeda. Pola hubungan orang tua dan anak yang jadi berbeda. Pendeknya: kehidupan yang berubah.

Seharusnya, dengan teknologi yang ada di tangan para pembuat film saat ini, mereka bisa dengan mudah menangkap perubahan yang terjadi.

Menangkap revolusi yang diam-diam sedang bergerak di antara berjuta teknologi yang digunakan manusia di Indonesia.

Buatlah sebuah film pendek berdurasi maksimal 180 detik, atau 3 menit, mengenai hal itu, dengan pendekatan bebas, gaya apa saja yang Anda sukai, dan format apapun yang tersedia atau Anda miliki.

Selamat berkarya.

=====================================================================================
Untuk mengunduh formulir pendaftaran silahkan klik link di bawah ini :

Formulir Pendaftaran, Young Film Director. Citra Pariwara 2009

Jika yang pertama gagal bisa mencoba link alternatif ini :

Formulir Pendaftaran 2 , Young Film Director. Citra Pariwara 2009

just click this word please :
Forum Film MMTC

Jumat, Oktober 02, 2009

WORKSHOP MASTER CLASS PROJECT CHANGE! 2009 KALYANA SHIRA FOUNDATION

Tahun 2008 yang lalu Kalyana Shira Foundation meluncurkan Project Change!, sebuah sarana pengembangan film dokumenter yang mengundang filmmaker Indonesia untuk mengikuti workshop master class film dengan tema Kesehatan Reproduksi Perempuan.

24 filmmaker dari 12 kota di Indonesia datang untuk menghadiri workshop selama 3 hari di Jakarta dengan pemateri yang berpengalaman dalam bidangnya. Pada akhir
workshop setiap peserta mempresentasikan ide film dokumenternya, dan setelah melalui proses seleksi 8 orang finalis diundang untuk melakukan production pitching
hasilnya 4 orang sutradara Ucu Agustin, Lucky Kuswandi,
Iwan Setiawan, dan Ani Ema Susanti dan script mereka siap diproduksi dengan fasilitasi dari Kalyana Shira Foundation dan Kalyana Shira Film.

Karya kolektif mereka dirangkai dalam film
antologi ‘Pertaruhan’ yang ditayangkan perdana di JiFfest 2008, dan diputarkan
untuk publik tanggal 16 Januari 2009 di jaring bioskop Blitz Megaplex di
Jakarta dan Bandung.
Film Pertaruhan juga ditayangkan di festival film international Berlinale 2009, Hong Kong International Film Festival 2009, Bangkok International Film Festival 2009,
Kampus di dalam dan luar negeri dan pemutaran dalam roadshow di Bogor, Cirebon,
Yogyakarta, Malang, Batam, Lampung, Bengkulu, Denpasar, dan akan menyusul ke
kota-kota Jambi, Pontianak, Aceh, dan Makassar.

Kini, Kami mengundang anda untuk mengikuti
master class workshop Project Change! 2009 yang akan diadakan di Sukabumi pada
tanggal 28-31 Oktober 2009 dengan tema utama Perempuan dan Kemiskinan. Seperti
tahun sebelumnya workshop akan dilanjutkan dengan presentasi ide cerita,
seleksi finalis, production pitching untuk para finalis, dan produksi film
untuk ide cerita terpilih.

Berikut adalah persyaratan peserta masterclass
workshop Project Change! 2009

1. Sudah pernah membuat film fiksi
atau dokumenter pendek.
2. Karya anda sudah pernah
ditayangkan di festival film lokal, nasional, atau internasional.
3. Mengisi formulir dan mengirimkan karya tersebut
ke Kalyana Shira Foundation,
dan menyertakan semua lampiran yang disebutkan
pada formulir pendaftaran. Formulir, foto, dan daftar karya
bisa dikirimkan melalui email.
Copy karya dikirimkan melalui pos ke alamat
Kalyana Shira Foundation Jl. Bunga Mawar no. 9, Cipete Selatan, Jakarta 12730.
Deadline penerimaan materi tanggal 14 Oktober 2009.
4. Dapat menghadiri workshop pada
tanggal 28 - 31 Oktober 2009.

Kami tunggu karya-karya anda, dan kehadiran anda di Workshop Master
Class Project Change! 2009.


Salam,
Vivian Idris-
Koordinator Master Class
Workshop Project Change! 2009

=====================================================================================
UNTUK MENGUNDUH FORMULIR PENDAFTARAN WORKSHOP MASTER CLASS PROJECT CHANGE! 2009 SILAHKAN KLIK LINK DI BAWAH INI:

Formulir Workshop PC! 2009.doc

Forum Film MMTC

Sabtu, September 19, 2009

Selamat Idul Fitri

Idul Fitri layaknya Produksi Film yang memiliki beberapa tahapan yaitu:

Pra Produksi, adalah masa dimana kita berpuasa mempersiapkan diri menyambut hari kemenangan.

Produksi, adalah tahapan untuk menyambut Idul Fitri dengan memproduksi permintaan maaf serta membuka pintu maaf selebar - lebarnya.

Pasca Produksi, adalah masa dimana kita mengolah serta menjaga hasil atas apa yang kita lakukan satu bulan ini dengan membawa semangat serta damai ramadhan sampai kapanpun.

Akhir kata Kami segenap keluarga besar Forum Film MMTC Yogyakarta mengucapkan Selamat Idul Fitri 1430 H.
Minal Aidin wal Faizin, Mohon Maaf Lahir dan Batin.

Salam Karya!


Yulius Pramana Jati dan kawan-kawan
Forum Film MMTC Yogyakarta

Kamis, September 10, 2009

South Of The Border

Oleh : RUDI HARTONO

Pada tanggal 8 september 2009, presiden Chaves menghadiri festival film Venice 2009, sebuah festival film tahunan yang melibatkan banyak sutradara dan industri film dari berbagai negara. Dalam acara itu, presiden Chaves berjalan di karpet merah dengan temani oleh sutradara Oliver Stone, sang pembuat film “South of the Border”.


Meskipun bukan di negaranya, tapi presiden Chaves mendapat sambutan cukup luas dari pengagumnya di Italia. Beberapa orang meneriakkan kata ;”presiden, presiden”, dan ada pula yang membawa bendera Venezuela, dan sebuah spanduk berbahasa spanyol “selamat datang, presiden”.

Dalam acara itu, Chaves memuji Stone sebagai sutradara yang baik, dan telah mengabarkan proses perbaikan dan kemajuan di Amerika latin.

“kelahiran kembali sedang terjadi di Amerika latin, dan Stone pergi untuk mencari itu dan menemukan hal itu,” kata Chaves. “Dengan kamera dan kejeniusannya, dia berhasil menangkap kelahiran kembali ini”.

Menurut Oliver Stone, film “south of the border” menggambarkan mengenai perubahan yang menyapu Amerika selatan dalam beberapa tahun terakhir, dan sebagai penentangan terhadap penggambaran Chaves sebagai diktator oleh media mainstream di AS dan eropa.

Dalam pembuatan film ini, Stone menghabiskan waktu 75 menit dengan Chavez untuk sebuah film documenter. Disamping itu, dia juga mewancarai sejumlah pemimpin dari negara amerika latin lainnya seperti Brazil, Bolivia, Argentina, Kuba, Ekuador, dan Paraguay. Para pemimpin itu, menurut Stone, berada pada halaman yang sama dengan Chavez.

Stone mengatakan, dia ingin menggambarkan perubahan yang menempatkan sejumlah pemimpin di Amerika latin, yang kekuasaannya mewakili kepentingan mayoritas rakyat di kawasan ini. menurutnya, para pemimpin ini benar-benar punya cita-cita sejati untuk membebaskan rakyatnya dari kemiskinan.

Dia berkali-kali mengutip presiden Evo Morales, orang Indian pertama yang terpilih menjadi presiden, dan presiden Luiz InĂ¡cio Lula da Silva, yang juga dikenal sebagai mantan pemimpin serikat buruh.

“ jika anda perhatikan sekarang, ada tujuh presiden, ada delapan negara dengan Chile, yang benar-benar bergerak menjauh dari Washington consensus,” kata Stone. “tapi amerika tidak pernah mendapat cerita itu.”

Stone diundang pertama kali ke Venezuela, untuk menemui presiden Chavez, ketika ada misi penyelamatan sandera Kolombia oleh gerilyawan FARC, namun acara itu dibatalkan. Ketika bertemu Chaves, dia merasakan bahwa sosok Chaves sangat berbeda dengan penggambaran media AS.

Stone memang terkenal dengan dramanya, selain itu juga pernah menyelesaikan empat film documenter, termasuk Commandanter, sebuah documenter yang diambil berdasarkan pertemuannya dengan Fidel Castro pada tahun 2003.

Ketika mengambil gambar presiden Chavez, Stone menangkap kesederhanaan, ketulusan, dan kebaikan presiden ini. Ini sangat berbeda dengan gambaran media barat yang menganggap Chaves diktator.

“yang saya suka dari film ini adalah soal bagaimana ketulusan dia (presiden Chaves, pen) di depan kamera. Anda tidak melihat seorang pria yang palsu. Dia bukan seorang diktator,” kata Stone.

Iya, presiden Chaves memang seorang yang sangat tulus, begitu mencintai rakyatnya, sehingga ia bisa memperlihatkan ketululusan perjuangannya di depan media. Ini sangat berbeda dengan presiden neoliberal di Indonesia, presiden SBY, yang isi pidato dan mimik mukanya direkonstruksi oleh bos-bos media dan pakar telekomunikasi di belakang layar.

Selama menghabiskan waktu bersama Chavez, Stone menyaksikan Chaves dielu-elukan rakyatnya, mengunjungi daerah pertanian, dan sebagainya. bahkan, dia bersama Chaves mendatangi rumah masa kecil sang presiden, dimana Chaves menaiki sebuah sepeda kecil untuk bermain-main.

Selain itu, dalam film ini, anda akan melihat bagaimana Evo Morales menendang bola bersama presiden progressif amerika latin lainnya, tanpa dibuat-buat. Semuanya berjalan secara alami.

Dengan pengalamannya secara langsung ini, Stone pun menuding kritikan para oposisi terhadap presiden Chavez adalah palsu. Menurut oposisi, Chaves sedang mengarah kepada sebuah otoritarianisme, yang dibuktikan dengan pencekalan terhadap oposisi dan tekanan terhadap media swasta. Disamping itu, oposisi menuding Chaves terlalu sibuk mengobarkan perang salib global untuk melawan dominasi AS, namun kemudian melupakan persoalan di dalam negeri, khususnya korupsi yang merajalela.

Menurut Stone, Oposisi berupaya menutupi segala bentuk kemajuan dan perbaikan di bawah Chaves. "Orang-orang itu lupa bahwa dia telah memotong kemiskinan hingga satu setengah,” ujarnya. “orang-orang di Venezuela dapat menikmati akses pendidikan secara gratis, mereka benar-benar mendapatkan pelayanan kesehatan terbaik tanpa mengeluarkan biaya, dan dimajukan kesejahteraannya,” kata Stone.

Akhirnya, film “south of the border” mendapatkan penghargaan Golden Lion dalam festival film Venice 2009, dan mendapatkan apresiasi luar biasa dari begitu banyak penonton, sutradara, dan pemerhati film.

*) Diolah dari berbagai sumber

Penonton dan “Penonton” dalam Politik Indonesia

Oleh : Kurniawan Adi

Kalau kawan-kawan punja waktu, masukilah kamar-kamar pemuda-pemudi bordjuis kita. Dinding-dinding kamarnja penuhlah dengan dewa-dewi tjinta dari Amerika Serikat. Dan pemuda atau pemudi ini setiap kali memetik gitar sambil memandangi gambar-gambar itu. Tampak tidak sesuatu pun jang terdjadi. Tetapi sesuatu telah terdjadi, jaitu: djiwa pemuda atau pemudi itu sambil memetik gitar melakukan pertjabulan dengan gambar-gambar bintang-bintang film itu.

Kenapa Kebudajaan Imperialis Amerika Serikat jang Harus Didjebol? Pidato Pramoedya Ananta Toer dalam acara resepsi penutupan sidang Pleno Lekra di Palembang. Dimuat Harian Rakjat, Minggu, 15 Maret 1964.

Gambaran tentang penonton film dalam kegiatannya yang aktual sulit dan jarang didapati dalam tulisan di media massa cetak. Bagaimanakah penonton itu memarkir kendaraan, berjalan masuk gedung, mengantri, membeli karcis, menunggu, masuk teater, duduk, menonton, dan keluar lagi hampir tidak tercatat. Lebih banyak dan mudah ditemukan tulisan perihal “penonton” (dalam tanda kutip), gambaran yang ada dalam pikiran wartawan, ketua serikat buruh film, panitia aksi pengganyangan, importir, dan lain-lain.

Meski sekunder dibanding kegiatan aktual penonton, soal “penonton” ini penting karena ia selalu hadir dan turut serta dalam berbagai pengambilan keputusan perihal kebijakan yang luas dan mendalam. Akan kita simak kisah “penonton” Indonesia dalam salah satu periode perfilman yang paling politis, riuh, dan radikal (Sen 1994, Arief 1997).

“Penonton” Menolak Menonton

Sesungguhnya tuntutan untuk melarang pemutaran film berita maupun film cerita Amerika Serikat (AS) sudah diajukan Sarbufis (Sarekat Buruh Film dan Senidrama Indonesia) sejak tahun 1955 dengan alasan menolak proyek nuklir. Kembali ia menuntut pelarangan film-film AS pada tahun 1958 dengan tuduhan mendukung gerakan separatis PRRI-Permesta. Agustus 1963 dituntut pula pelarangan film-film Inggris oleh Sarbufis karena konfrontasi pembentukan negara Malaysia, tetapi seruan ini tidak mendapat dukungan dari komunitas film maupun kelompok budaya sayap kiri (Sen 1994).

Seminggu setelah Festival Film Asia-Afrika III (FFAA III) yang ditentang oleh Persatuan Pengusaha Film Indonesia (PPFI), tepatnya tanggal 30 April 1964, diumumkan pendirian Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS). Sebagai organisasi payung, PAPFIAS beranggotakan 16 organisasi. Di antaranya adalah LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional), SOBSI (Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia), Front Pemuda, LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat), SARBUFIS, OPS Bioskop (Organisasi Pengusaha Sejenis Bioskop), PIDFIN (Persatuan Importir dan Distributor Film Indonesia), dan beberapa organisasi lain.

Tanggal 9 Mei dimulailah aksi boikot pertama berupa penempelan plakat-plakat dan seruan-seruan di bioskop-bioskop dan berbagai tempat di Jakarta. Tanggal 12 Mei PAPFIAS beserta panitia FFAA III dan beberapa artis film menghadap Gubernur Jakarta Brigdjen. Dr. Sumarno. Joebaar Ajoeb menjelaskan bahwa aksi tersebut dimaksudkan untuk melaksanakan Dwikora pengganyangan proyek neokolonialisme “Malaysia” yang disokong AS.

Dalam siaran pers PAPFIAS tanggal 16 Mei 1964, N.K. Surbakti sekretaris PAPFIAS Pusat merinci kejahatan film AS sebagai berikut: propaganda perang, raja rasialis internasional, propaganda garong, cabul, apatis, avonturis, defaitis, … segala kumpulan dari yang paling jahat, paling jelek, dan paling berbahaya. Mereka menyebut kata cabul bersandingan atau satu nada dengan jahat, jelek, dan berbahaya. Pramoedya di awal juga menyebut percabulan. Dalam pikiran saya, keduanya bukan kebetulan. Akan tetapi bagian ini akan saya bahas nanti.

Tidak sampai seratus hari, aksi yang sama telah berlangsung di Semarang, Jawa Barat, Surabaya, Sumatra Utara dan Selatan, Bojonegoro, kemudian diikuti Yogyakarta, Solo, Blitar, Madiun, Banjarmasin, Makasar, Denpasar, Sumatra Selatan, dan Bengkulu. Dengan tegas PAPFIAS Pusat dan berbagai daerah mengeklaim bahwa aksi tersebut adalah aksi nasional dan dilakukan oleh massa rakyat. Puncaknya, pada tanggal 17 Agustus 1964 Menteri Perdagangan membubarkan AMPAI (American Motion Picture Association Indonesia) yang pada masa itu menjadi pemasok film-film AS dengan jumlah mencapai 70% dari seluruh film yang diputar bioskop.

Kisah tidak berhenti di sini. Setelah itu perselisihan produser (PPFI), importir-distributor (PIDFIN), pengusaha bioskop (OPS), dan organisasi massa (LESBUMI, LKN, LEKRA dengan berbagai organisasi afiliasinya) makin menjadi dalam upaya menentukan kebijakan perfilman nasional. Apakah impor film AS masih akan dilakukan? Siapakah pengimpornya? Bagaimana suplai bioskop? Apakah Dewan Film Indonesia (DFI) masih diperlukan?

Akan tetapi, justra saya akan berhenti di sini sebab kisah penonton (tanpa tanda kutip) dan ”penonton” (dengan tanda kutip) pada dasarnya tidak banyak berubah hingga sekarang. Penonton adalah bagian minor, sedangkan “penonton” selalu terlibat dalam peristiwa-peristiwa mayor baik menyangkut politik luar negeri, impor film, kebijakan selera, maupun pornografi. Penonton hanya mendapat ruang-ruang kecil dalam pikiran pembaca, surat penggemar, atau kuis. Sebaliknya “penonton” diberi tajuk rencana, opini, kolom, dan berita utama.

Kata penonton (dengan atau tanpa tanda kutip) yang saya pakai di muka sebenarnya malah hampir tidak dipakai dalam berbagai tulisan di media massa. Akan tetapi saya temukan kasus menggelitik dalam Harian Harapan edisi 30 Juni 1964. Kasus ini berpangkal pada tulisan Djakaraun dalam ruang “Keliling Kota” di harian Tjerdas Baru edisi 19 Juni 1964 yang berbunyi “bahwa penonton agak berkurang dimana selama ini belum matang akan film2 dalam negeri bersama film2 AA lainnja”. Pernyataan ini mendapat tanggapan keras dari Abubakar Abdy ketua I Komite Nasional FFAA III yang merangkap anggota PAPFIAS Pusat. Menurut Abdy, sikap demikian merupakan penghinaan tidak saja terhadap “Rakjat Indonesia serta negara2 Afrika-Asia dan Negara2 Nefos lainnja”, melainkan juga “terhadap kerangka tiga Manipol”.

Perhatikan bahwa wartawan Djakaraun menulis tentang situasi tontonan dalam acara FFAA III. Ia datang, ikut melihat, mengamati, dan menulis tentang orang-orang konkrit, aktual meskipun belum tentu ia kenal. Maka tulisan tersebut mengenai perilaku orang-orang. Tanggapan keras Abdy sebagai panitia FFAA III dan anggota PAPFIAS pusat berdasarkan hal lain. Ia segera mengubah penonton Djakaraun menjadi “penonton”. Siapakah “penonton” Abdy? Ia adalah rakyat Indonesia. Penonton Djakaraun dikosongkan dari rujukan historisnya (para pelaku) sehingga lepas dan lentur. Pertama ia lepas dari tempat pemutaraan FFAA III dan masuk dalam sirkuit Afrika-Asia dan negara-negara Nefos (New Emerging Forces). Kedua ia sangat lentur hingga dapat diulur mencakup sekian banyak rakyat Indonesia dengan puluhan partai (kalau kita mau hitung lembaga politik formalnya).

Di tangan elit penguasa festival dan panitia aksi politik, penonton aktual-historis menjadi penanda kosong (“penonton”) yang dibiarkan lepas mengapung-apung dalam lautan politik penandaan. Karenanya, ia haruslah berupa kategori abstrak, bukan sosok manusia hidup yang bisa membantah. Ia tidak boleh menjadi kategori fungsional (seperti halnya kategori peran pembuat film, penyandang dana, penonton, kritikus), tetapi direntang kuat-kuat hingga mencakup apa saja yang sebenarnya sama sekali lain. “Penonton” hanyalah konstruksi normatif yang memberi legitimasi aksi politik tertentu.

Persis dengan prosedur inilah penonton mangkir dari teks media massa. Tidak ada disebut tindakan spesifik yang dilakukan penonton. Penonton bertransformasi menjadi “rakjat, massa manipolis, masjarakat, pemuda-pemudi, peladjar, mahasiswa, cross-boys, rok span, rambut sasak, beatles,” dan lain-lain. Mengapakah, kira-kira, pada masa itu pandangan fungsional tidak berlaku? Mengapa penonton lenyap?

Jawabannya ada di luar film. Ia terletak dalam cara kelompok-kelompok elit membayangkan bagaimana kelompok-kelompok kepentingan, asosiasi profesi, organisasi massa, kelas produksi, dan strata sosial disusun dan membentuk ikatan sosial yang lebih besar. Dengan kata lain, bagaimana bangsa dibayangkan.

Tubuh Bangsa

Dalam laporan umum LEKRA Januari 1963, Joebaar Ajoeb menyampaikan,

“Djadi, apa jang ditetapkan MPRS, jaitu “menolak pengaruh2 buruk kebudajaan asing”, menolak invasi kebudajaan imperialis, melaksanakan apa jang pernah diserukan Bung Karno untuk membasmi “rokenrol2an dikalangan pemuda dan mahasiswa terutama”, membendung peng[g]erajangan2 neo-kolonialisme dilapangan ilmu dan kebudajaan dan mentjegah “Twist2 society” dari kaum kapitalis birokrat, hal2 itulah djustru jg kurang diperhatikan dan dilawan oleh pemerintah”. (Harian Rakyat, 19/1/1963)

Bangsa, menurut LEKRA, perlu menolak pengaruh buruk. Sebagai suatu entitas ia perlu menarik jarak dari bangsa yang lain. Ia perlu dilindungi oleh para elitnya. Nalarnya, kebudayaan bangsa luar adalah pengaruh buruk dan menginvasi. Cukup aneh dan penting kita perhatikan pemakaian kata penggerayangan. Seolah-olah bangsa asing punya tangan yang akan menggerayangi bangsa kita. Penggerayangan ini, tentu saja, tanpa seijin dan persetujuan bangsa kita.

Pengandaian ini akan lebih jelas dalam bagian lain ketika dikatakan bagaimanakah bangsa kita hidup: “perkembangan dan pernafasan seluruh sektor kebudayaan nasional kita dicekek situasi ekonomi dan keuangan negeri yang terlunta-lunta di rawa-rawa krisis.” Budaya bangsa asing tidak hanya menggerayangi, tetapi juga mencekek sehingga bangsa kita tidak bisa berkembang dan bernafas.

Kita simak dua dari banyak teks yang beredar di koran-koran pada masa pengganyangan film AS:

“… tentang sebab kedua jakni untuk menjelamatkan kebudajaan kita dari pengaruh kebudajaan Imperialis, hal ini tampak dalam kebudajaan kita setelah kita ditjekoki film2 AS, demikian Iskandar meneruskan pendjelasan,…” (Terompet Masjarakat, 15/8/1964)

“… sedang target selandjutnja adalah ditjabutnja samasekali dominasi film2 AS jang dikatakannja merupakan “kuman” dan bahkan “kanker” dan mengusahakan “obat” dan “vitamin” bagi perkembangan perfilman nasional…” (Warta Bhakti, 22/8/1964)

Dicekoki, kuman, kanker, obat, dan vitamin. Sulit saya simpulkan lain bahwa bangsa dibayangkan seperti tubuh. Ia hidup, digerayangi, berkembang terlunta-lunta, tercekik napas, dicekoki, diserang kuman dan kanker, dan butuh obat serta vitamin. Bangsa seperti makhluk organik yang memiliki silsilah sejak jaman Borobudur, lahir dalam masa revolusi, berkembang, berkelahi, dewasa, dan seterusnya.

Bayangan tentang tubuh ini cukup kuat hingga menjangkau tubuh wadag individu yang menjadi anggotanya. Manifestasi fisik dari tubuh bangsa pun (yaitu tubuh individu warga negara) perlu diatur, diarahkan, dan dibina. Ini bisa menerangkan mengapa pada masa itu Presiden, ketua partai politik, organisasi massa, hingga sutradara film sampai mengurusi rambut beatle, musik rokenrol, dansa-dansi, dan rok span. Coba baca petikan berita dari harian Terompet Masjarakat hari yang sama:

“… sehingga pemuda2 kita mendjadi cross-boys, Cross-girl, rambut sasak, rok span, rambut beatles jang tidak sesuai dengan kepribadian kita dan semuanja ini sudah ada instruksikan oleh Presiden untuk diganjang.”

Tubuh mendapatkan definisi dari batas-batasnya. Dengan kata lain, batas-batas ini menentukan seperti apakah bangsa. Prinsip yang dipakai sederhana: jika di luar bangsa adalah x, maka bangsa kita adalah bukan x. Dalam kasus film, x bisa jadi India (kasus perselisihan kuota impor), atau Amerika (kasus PAPFIAS), atau Soviet (kasus Festival Film Sovjet), atau Zionisme (kasus film The Bible), atau Amerika lagi (kasus kemerosotan produksi film nasional tahun ‘90-an).

Batas ini tidak boleh dilanggar karena akan terjadi kekacauan tatanan identitas yang penting untuk memberi legitimasi politik tertentu. Diri dan bukan diri harus diberi jarak yang sangat terjaga. Apabila kamar pribadi pemuda/pemudi bertempelkan gambar dewa-dewi cinta dari Amerika (bukan diri) dan mereka membayangkannya sambil memetik dawai gitar, maka terjadilah percabulan sebab batas telah dilanggar (lihat kutipan di awal) seperti seks yang melanggar batas perkawinan.

Selain berdimensi luar, bayangan tentang tubuh bangsa ini juga berdimensi dalam. Ke luar, tubuh bangsa didefinisikan menurut lingkungan eksteriornya, yaitu lingkungan luar yang mengancam, mengandung racun, bibit penyakit, dan ancaman. Ke dalam, tubuh didefinisikan menurut jiwa dan kepribadiannya. Kita masuk dalam jiwa bangsa.

Jiwa Bangsa

Usai mengadakan sidang sepanjang 3 malam kurang lebih 200 peserta kongres pertama PARFI (Persatuan Artis Film Seluruh Indonesia) pada tanggal 12 Maret 1956 mengadakan “demonstrasi” dalam bentuk pawai “raksasa” di Istana Merdeka. Itu bukanlah demonstrasi benar-benar karena para artis diceritakan berbaris menuju halaman istana dengan diikuti Ibu Fatmawati. Tetapi Ibu Fatmawati hanya akan mengantar sampai gerbang dan meninggalkan mereka begitu masuk pagar, seperti layaknya ibu mengantar anaknya bersekolah (Merdeka, 13/3/1956).

Setelah menyampaikan resolusi yang berisi meminta proteksi pemerintah terhadap industri film nasional, Presiden memberikan amanat yang disambut pekik gembira dan disusul menyanyikan lagu Sorak-Sorak Bergembira. Amanat Presiden kurang lebih bahwa Indonesia telah merdeka sehingga harus kembali kepada kepribadian sendiri. Artis tidak boleh meniru film Amerika dengan mambo dan dansanya (Sin Po, 14/3/1956), tetapi mempunyai kebudayaan sendiri. Kebudayaan sendiri yang dimaksud adalah “keagungan tjandi2 Borobudur, Prambanan, dan lain2”. “Djika sdr2 kekurangan tjeritera, datanglah pada sdr. Kotot Sukardi, atau datanglah pada saja”, kata Bung Karno (Harian Rakyat, 15/3/1956). Soekarno memang dermawan, ia juga menyumbang Rp 10.000,00 untuk kongres PARFI.

Sumanto, ketua PARFI, menyebut “bahwa pertemuan ramah tamah tsb. adalah sebagai pertemuan antara anak dan bapak, jang telah lama merindukan bapaknja” (Indonesia Raya, 15/3/1956). Bapak dan anak itu bergembira karena mereka terikat kerinduan dan cinta. Demikianlah keluarga, bapak dan anak, itu bergembira ria dan menemukan ikatan bersama mereka dari candi Borobudur dan Prambanan. Silsilah bangsa sedang diciptakan.

Secara sederhana hal yang mereka maksud dengan jiwa, watak, kepribadian, karakter adalah esensi yang terkandung dalam imajinasi sosial bernama bangsa. Esensi itu dipandang relatif mapan, telah ada sejak dulu (kalau tidak kekal), dan utuh seperti candi Borobudur pascarenovasi. Benarkah demikian?

Kembali ke cerita PAPFIAS, kira-kira sebulan setelah diluncurkan aksi PAPFIAS mendapat serangan-serangan dari lawan-lawannya. Harian Duta Masyarakat (14/6/1964) yang merupakan organ Partai NU menuduh aksi PAPFIAS mulai “tidak terkendali”. Seharusnya aksi itu dimulai di Jakarta saja. Jika itu belum berhasil menakut-nakuti Amerika, dilanjutkan ke tiga kota besar: Surabaya, Makasar, Medan. Pada kenyataannya aksi itu meluas ke berbagai daerah hingga kota-kota kecil seperti Bojonegoro, Madiun, Blitar. Jika aksi meluas, maka stok film berkurang, maka bioskop tutup, maka “penonton” akan resah. Begitu logika mereka.

Pada tanggal 15 Juli 1964, Duta Masyarakat mengutip surat pernyataan Badan Pool Perbioskopan (BPP) Surakarta kepada PJM (Paduka Jang Mulia) Presiden Pemimpin Besar Revolusi yang berisikan berbagai pernyataan. Pada pernyataan nomor 9 dikatakan, “timbulnja gedjala2 jang membahajakan seperti pertumbuhan para teenagers baik pemuda, peladjar maupun mahasiswa, karena belum adanja penampungan hiburan jang tjotjok dengan perkembangan pikiran dan djiwanja.” Keresahan “penonton” dicetak dalam koran untuk mengancam lawan politik. Sekali lagi “penonton” sekedar bahasa kosong.

Jika “penonton” tidak mendapatkan penampungan hiburan yang cocok, yang akan terjadi adalah

“… masjarakat sendiri ahirnja bisa mengalihkan perhatian dari gedung bioskop ketempat hiburan lainnja, misalnja keperdjudian, pelarian ketempat hiburan jang meluap, dansa-dansi, dan minum2 dan lain2 perbuatan jang gampang sekali merusakkan moral.” (Sinar Harapan, 21/6/1964)

“Penonton”, apalagi yang masih muda, adalah individu-individu yang memiliki hasrat kuat untuk dihibur dan tidak bisa mengendalikan diri jika hiburan pemuas hasrat mereka hilang. Mereka mendadak menjadi tidak bermoral jika film sebagai hiburan rakyat yang sehat tiada.

Jika pihak kontrapengganyangan membayangkan “penonton” demikian, apakah pihak propengganyangan membayangkan yang sebaliknya, yaitu “penonton” yang kritis, berdaulat atas dirinya sendiri, dan dewasa?

Memang di satu sisi pihak propengganyangan melihat “penonton” sadar politik dan partisipatif karena

“… aksi boikot tsb. sudah sampai kebawah artinja sudah diketahui masjarakat dipelosok2. Hal ini, demikian Bachtiar Siagian, menundjukkan adanja perspektip baru jaitu masjarakat sudah memberikan support dan control terhadap perfilman nasional jang dulu hanja dibitjarakan oleh produsir2 sadja.” (Suara Merdeka, 7/9/1964).

dan

“Produksi film sudah mendjadi masalah rakjat. Kalau dahulu masalah produksi film adalah masalah dari para pengusaha film sadja, maka sekarang rakjat pun tidak ketinggalan untuk memberikan dorongan dalam kalangan perfilman Nasional. Bahkan masalah pemboikotan film ini telah terintegrasi dengan persoalan2 pokok di daerah2, …” (Harian Tempo, 10/9/1964)

Akan tetapi, ketika PAPFIAS memulai aksi, mereka sendiri merasa perlu “menghadap Gubernur Kepala daerah Djakarta Raya Brigjen. Dr. Sumarno” (Antara, 12/5/1964) untuk melaporkan pelaksanaan aksi. Selain memberi laporan, mereka meminta petunjuk.

Di lain tempat dan waktu,

“Inspektur Hoesodo selaku wk. Angk. Kepolisian Resort Bodjonegoro dalam pidato pemandangannja mengemukakan al. bahwa prakarsa PWI ini amat sympatik sekali karena dgn demikian tertjegahlah tindakan2 liar jang bersifat perseorangan. Tentang film2 ketjil jang diputar dgn projektor2 milik perseorangan dan dgn penonton jg terbatas pula, kewadjiban mendaftar berlaku pula. Hal ini dimaksudkan untuk mentjegah kemungkinan exses2 jang timbul terutama dibidang akibat dari isi film tsb.” (Terompet Masjarakat, 4/6/1964)

“Panglima Kombespol T.A. Azis Jakarta menegaskan bahwa panitia aksi telah benar2 membantu dan memberikan kepertjajaan jang besar kepada angkatan kepolisian sehingga aksi mengganjang film2 imperialis AS jang merupakan aksi nasional jg besar itu berdjalan lantjar dan tertib.” (Bintang Timur, 12/7/1964)

“Penonton” berwatak ambigu. Mereka memiliki perspektif dan terlibat dalam persoalan film nasional. Akan tetapi, pada saat yang sama mereka boleh beraksi hanya dengan petunjuk dan pengawasan dari aparat pemerintahan (gubernur dan polisi). Proyektor pribadi pun harus dilaporkan karena “penonton” harus dilindungi dari ekses-ekses yang lahir dari isi film. “Penonton” terkendali jika tidak beraksi secara individual, jika mereka bergerombol dengan nama tertentu yang berarti berafiliasi dengan kelompok politik tertentu, dan menghubungkan diri dengan otoritas penguasa. Lebih lanjut, jika memberikan kepercayaan yang besar kepada polisi, aksi mereka lancar dan tertib.

Jadi baik pihak pro maupun kontrapengganyang film imperialis AS memandang “penonton” sebagai kelompok yang lemah, harus dilindungi, dituntun, minta petunjuk, melaporkan diri pada aparat, tetapi sekaligus mereka tidak mampu mengendalikan diri dan karenanya berpotensi mengancam. Kepribadian dan jiwa nasional apakah yang ada dalam diri “penonton”?

Saya melihat ada dua jenis “penonton” di sini. Penonton lemah yang harus dilindungi dan penonton liar yang harus diawasi. Ini sejajar dengan pemikiran Siegel (1998) tentang rakyat dan massa. Keduanya merupakan proyeksi kelas menengah, tetapi memiliki fungsi yang berbeda. Rakyat berfungsi meneguhkan fungsi kepemimpinan kelas menengah, sedangkan massa menjelmakan ketakutan kelas menengah. Keduanya bisa berubah dari satu menjadi yang lain sehingga hubungan ini tetap dalam keadaan ambigu, menegangkan, dan perlu terus-menerus dipantau dan dikendalikan.

Persoalan ini mungkin sudah setua nasionalisme Indonesia. Begitu melepaskan diri dari kekangan kolonial dan lingkungan tradisional, perlu ditemukan identitas baru yang mengikat mereka bersama. Di dalamnya terkandung cara tepat berperilaku yang berlaku umum dan bersifat nasional dalam cakupan dan definisinya (Siegel 1998). Rakyat adalah bagian bangsa karena butuh tuntunan kelas menengah, tetapi massa adalah bagian yang tak terduga dan mengancam.

Di sinilah “kepribadian nasional” menemui batasannya. Masih ada rakyat yang bisa menjadi massa, masih ada “penonton” yang bisa berubah menjadi amoral. Ada bagian dari tubuh bangsa yang liar dan tak terkendali. Ia seperti nafsu yang tak pernah dapat didefinisikan, tak bisa diduga, tetapi ada dan bisa keluar sewaktu-waktu melakukan kecabulan.

Politik Penonton

Retakan dalam kategori “penonton” (dengan tanda kutip), saya pikir, merupakan peluang bagi penonton (tanpa tanda kutip) untuk mengambil peran dalam menyusun artikulasi identitas nasional. Sehingga “penonton” tidak sekedar menjadi sekawanan domba yang lemah atau calon-calon pencabul yang liar. Berbagai bagian dalam sirkuit produksi budaya film mesti dimasuki oleh penonton. Beberapa waktu terakhir mulai berkembang luas produksi film amatir, pemutaran film di “bioskop” nonpermanen, festival nasional maupun internasional, juga berbagai terbitan film oleh para penonton.

Tentu saja jalan ini tidak mudah, tidak begitu murah, dan tentu lama. Akan tetapi ini harus dilakukan sebab seperti dikatakan oleh Drs. Ie Keng Heng, ketua PAPFIAS Makassar, “Film tidak dapat dipisahkan dengan masalah politik.” (Bintang Timur, 14/6/1964)

Selasa, April 07, 2009

Short Story Competition





"Mau cerita lo di film-in ?

Ikutin Short Story Competition dan dapetin kesempatan bikin script
bareng script writter terkenal dalam program MEET THE EXPERTS yaitu:
Salman Aristo (writer Laskar Pelangi; Ayat-ayat cinta; Jomblo; Alexandria dll…) dan
Titien Wattimena (writer Mengejar Matahari; Bukan Bintang Biasa; LOVE; the Butterfly dll…)

Empat cerita terbaik akan difilmkan dalam bentuk film pendek berdurasi maksimal 15 menit dalam program La.Lights Indie Movie 2009."



Persyaratan pesertanya sebagai berikut:


* Terbuka untuk umum
* Peserta minimal umur 18thn
* Kumpulkan short story maksimal 2 halaman folio, 1,5 spasi
* Lampirkan dan isi formulir yang dapat didownload lewat www.la-lights.com, atau lewat email panitia la.indiemovie@gmail.com


* Kriteria Cerita:
o Bertema dunia anak muda
o Tidak menampilkan tokoh dibawah 18th
o Tidak mengandung unsur SARA dan pornografi
o Cerita harus original bukan jiplakan
o Belum pernah dipublish dalam bentuk apapun
* Pengumpulan karya mulai 1 April 2009
* Deadline pengiriman 1 Juni 2009
* Setiap peserta tidak boleh mengirimkan lebih dari satu cerita
* Empat cerita terbaik akan diumumkan Juli 2009 dalam Indie Movie
* Keputusan juri bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat
* Kirim Ke sekretariat :

SET Film
Jl. Sinabung No.4B, Kebayoran Baru
Jakarta Selatan - 12120
Telp. 021 727 99227/727 99226
HP Panitia 0815 1059 4899
Contact Person: Fira/Anunk

Rabu, April 01, 2009

JIFF 2009





SELAMAT UNTUK FILM PENDEK 'TO BUNCH UP' (MINESWEEPER, 2008) YANG MEMENANGKAN JOGJA INDIE FILM FESTIVAL (JIFF) 2009, YANG DISELENGGARAKAN TANGGAL 26 MARET 2009, DENGAN KATEGORI SINEMATOGRAFI TERBAIK DAN FILM TERBAIK. TERUS BERKARYA, KAWAN...! SEKALI LAGI, SELAMAT ATAS KEMENANGANNYA. WE PROUD OF YOU :)

Sabtu, Maret 28, 2009

Kausa Prima Pembuat dan Penonton

Artikel kali ini datang dari sebuah kepedulian, menyikapi banyaknya film-film hantu produksi dalam negeri yang tak kunjung meraih sebuah antrian panjang penontonnya. Namun sebelum itu, inti dari pada buah pemikiran penulis, ternyata telah terlebih dahulu di tuangkan pada sebuah pengantar tentang pelestarian film di Indonesia oleh seorang pustakawan, Kalarensi Naibaho. Jadinya, berikut saya kutipkan saja apa yang telah ditulis oleh beliau,

"apresiasi hanya dapat tercipta jika pekerja seni memahami apa yang dibutuhkan masyarakat. Artinya, masyarakat akan memberikan apresiasi terhadap film jika film tersebut memang sesuai dengan keinginan mereka. Sekarang ini, pekerja seni, para pembuat film atau sinetron sering sekali mengumbar pernyataan bahwa masyarakat kita butuh mimpi, dan itulah yang diberikan oleh dunia sinema. Para sineas selalu berpatokan pada apa yang mereka sebut dengan ’pasar’. Menurut mereka, apa yang sedang booming di masyarakat, itulah pasar. Kalau saat ini semua layar lebar dan layar kaca penuh dengan adegan ’hantu’, maka pasarnya memang demikian. Mungkin betul. Tapi kita lupa bahwa pasar itu sebetulnya dibuat dan ditentukan oleh para pembuat film itu sendiri. Penonton, sebagai konsumen tidak mempunyai kuasa untuk mengatakan bahwa mereka tidak menginginkan film atau sinetron seperti itu. Penonton sebetulnya hanya sebagai ’korban’. Jika sampai saat ini bioskop masih tetap penuh, sebetulnya karena penonton memang tidak punya pilihan. Sementara mereka butuh hiburan. Maka, kalau ditelisik lebih mendalam, bukan masyarakat yang menentukan pasar, tapi pembuat film lah yang ’memaksa’ masyarakat membuat pasar itu. Itu sebabnya, masyarakat mudah sekali beralih jika ada pembanding, film asing misalnya." - Kalarensi Naibaho-

Apresiasi dibutuhkan sekali oleh film, karena media gambar bergerak ini tidak lagi dimaknai sekedar sebagai karya seni (Film As Art) tetapi lebih sebagai 'praktik sosial' (Turner, 1991)serta 'komunikasi massa' (Jowett & Linton, 1981). Film saat ini secara cepat dan luwes bisa 'hidup' berdampingan saling menguntungkan bersama-sama masyarakat penikmatnya. Ada baiknya juga jika hubungan para pembuat dan masyarakat penikmat lebih bisa terbuka lagi, mengingat betapa berpotensinya kemampuan mendidik yang bisa dilakukan oleh film. Mungkin saat ini begitu terbatasnya masyarakat yang mengetahui landasan ideologi para pembuat dalam menciptakan sebuah karya film, padahal, disinilah sebenarnya letak interaksi sosial pembuat dan penonton. Sebaliknya, diperlukan kepekaan yang luar biasa bagi para pembuatnya, untuk bisa mengangkat tema-tema cerita yang sedang dibutuhkan oleh penonton (jika memang akan melayani pasar). Bisa saja hal-hal tersebut menjadi musykil untuk bisa terjadi, apabila kedua belah pihak bergerak hanya dalam batas ekspektasi tanpa bantuan sebuah media yang mampu mengakomodirnya, televisi, misalnya.

Arie Surastio
Matekstosi IV

Sabtu, Februari 21, 2009

Indie Toy Movie Festival 2009

Indie Toy Movie Festival 2009
Ditulis pada Februari 1, 2009 oleh garudatp



Tujuan

Menjadi media ekspresi idealisme para sineas.
Memperkaya ide para sineas untuk menciptakan film yang unik dan berbeda dari mainstream yang sudah ada sebagai suatu bentuk perlawanan baru.
Membuat dunia mainan dan perfilman semakin berkembang.

Biaya Pendaftaran
Untuk umum Rp 30.000, untuk pelajar / mahasiswa Rp 25.000
Uang pendaftaran tidak dapat diambil kembali apabila peserta mengundurkan diri atau tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh Panitia.


A. Tema Film

Toys in Action.
Memanipulasi obyek tidak gerak menjadi seolah-olah hidup dan bergerak sehingga bisa berperan dalam suatu cerita.

B. Obyek Visual

Yang dijadikan obyek atau model dalam film adalah Toys (mainan), contoh: boneka, action figure, statue, remote control dll. Tidak ada unsur manusia.

C. Ketentuan Lomba
Karya harus orisinil dan merupakan karya sendiri serta belum pernah menang dalam lomba lain.
Durasi 15-20 menit.
Peralatan film ditanggung sendiri, tidak harus profesional (boleh menggunakan handycam, DV cam, video ponsel dll).
Karya film boleh menggunakan teknik stop-motion, live action.
Tidak mengandung unsur SARA, pornografi dan pornoaksi.
Karya Film dikumpulkan dalam format DVD / VCD (PAL) beserta data identitas, biaya pendaftaran dan formulir yang telah diisi.
Materi film boleh buatan sebelum pengumuman lomba ini dengan batas paling tua adalah hasil rekaman tanggal 1 Januari 2009.
Karya yang telah dikirim tidak bisa dikembalikan dan menjadi hak milik Smart Brain Production, tetapi hak cipta atas karya yang masuk tetap di tangan filmmarker.
Film dapat diberi narasi, teks penjelasan serta kreatifitas lainnya.
Film yang disertakan lomba disertai dengan penjelasan tertulis mengenai isi film yang dilombakan.
11.Karya dan formulir yang telah ditandatangani paling lambat diterima panitia tanggal 1 Mei 2009 dikirim ke Smart Brain Production, Ry Klampis Semolo Timur F 12 Surabaya 60119
Seluruh karya akan diikutkan seleksi pada tanggal 6 Juni 2009 di North Atrium Mal Galaxy Surabaya dan 10 nominasi akan di umumkan dan diputar pada saat penjurian final tanggal 7 Juni 2009 di North Atrium Mal Galaxy Surabaya

E. Kriteria Penilaian

Dititikberatkan pada isi cerita, teknik pembuatan, dan kreativitas serta orisinalitas.

F. Pemenang Lomba:

Juara I : Trophy + Rp. 750,000 + voucher belanja senilai 200rb
Juara II : Trophy + Rp. 500,000,- + voucher belanja senilai 100rb
Juara III : Trophy + Rp. 250,000,- + voucher belanja senilai 50rb

Informasi : +62 31 60666066 atau +62 81 331 313 100 (sdr. Pramono)
atau swaragambar.wordpress.com




-andrika, thanks to PHIE for this information-