Senin, September 08, 2008

Jiwa Skenario Tua


"Skenario yang tidak berjiwa adalah skenario yang telah menjadi bangkai dan tidak layak difilm-kan, karena kesudahannya akan mengecewakan penonton. Maka itu, pengetahuan bagaimana skenario harus diberi jiwa tetap merupakan bagian yang penting bagi seorang penulis skenario. Seorang penulis skenario yang baik, sebelum menyusun skenarionya, terlebih dahulu merancangkan "penjiwaan" termaksud. Hal ini dalam dunia film disebut "Plot construction", atau membentuk satu plot, membentuk satu kejadian untuk difilm-kan."


Itulah kutipan kalimat dalam buku berjudul "Beladjar Membuat Film" terbitan ENDANG djakarta tahun 1954 (cetakan I). Buku ini ditulis oleh Tann Sing Hwat (Penulis Skenario & Sutradara "BAWANG MERAH, BAWANG PUTIH", "SIAPA DIA?", dan "TERSADAR"). Dengan tebal 116 halaman dan penampang kertas berukuran 22.5cm X 14cm, buku ini sangat enak untuk dipegang. Sintax yang meletup-letup menyertai terus dari awal kata pengantar hingga penutup, perbendaharaan kata yang masih dicampur-campur (Belanda-Inggris) membuat saya memiringkan kepala sekitar 45 derajat. Pembahasan yang cukup lengkap mulai formasi kru beserta tanggung jawabnya yang paling ideal pada waktu itu, hingga tahap paska produksi yang lebih di intens-kan kepada teknik editing film ketimbang distribusi.

Tegas, tapi masih absurd, itu yang saya rasakan (mungkin bisa dikarenakan ejaan lama dan rotasi kultural yang terjadi). Menyimak bagian-bagian pokoknya sedikit berbeda dengan teori pada masa kini, dan generalisir bahwa pembaca adalah orang awam mengenai film memang keputusan yang tepat mengingat tenaga-tenaga ahli film pada waktu itu kebanyakan didatangkan dari luar negeri ke indonesia, sehingga Tan (bisa dikatakan dengan golongannya) merasa terus-terusan bersaing dengan pekerja asing tadi dan tidak punya cukup waktu untuk mewariskan pengetahuan filmnya kepada golongan muda, maka disempatkanlah beliau menulis buku ini dengan segala pengetahuan yang ada kala itu.

Sangat patut ditiru seorang yang ahli menganggap ilmu yang dimiliki bisa dipelajari oleh siapapun tanpa terkecuali (akademisi/non-akademisi). Terbebas dari itu semua, kata penutup dalam buku inilah yang menjadikan semangat tersendiri bagi saya, ajakan yang lugas dan sangat bersimpati mengingat Indonesia saat itu masih berumur 9 tahun sebagai sebuah negara, berikut kutipannya :

"Bukan maksud saya, bahwa dengan buku ini pembaca sudah boleh henti mencari pengetahuan dalam dunia film. Tidak! pengetahuan film terlalu luas untuk orang boleh henti sampai disini saja, maka saya menganjurkan, supaya pembaca suka pula mencari pengetahuan itu dari buku-buku lain, baik dari buku-buku yang berbahasa asing, maupun yang berbahasa Indonesia. Demikian, selanjutnya saya mengucapkan selamat berpisah."




Arie Surastio
Matekstosi IV

1 komentar:

  1. Kita memang masih harus belajar bung.
    Belajar dan belajar...

    BalasHapus