Minggu, September 28, 2008

KENDARAAN

Tidak tepat sebenarnya kalau aku menyampaikan ini padamu kawanku. Kau sebenarnya sudah cukup tahu bahkan mengerti apa yang sudah menjadi jalan kendaraan kita ini. Namun menurutku berbahaya jika kau terlalu sering menoleh keluar dari jendela itu. Aku hanya ingin mengingatkan kau kawanku. Sudah cukup bagiku untuk mengendalikan kendaraan ini. Sekarang bagianmu. Hanya saja aku masih di dalam kendaraan ini. Aku ikut dalam kendalimu, bersama kawan-kawan lain. Maka itu aku tak bisa hanya diam dan pasrah saja ketika terlalu sering kau menoleh keluar dari jendela itu. Aku takut jika kita malah tak pernah sampai pada tujuan kita. Tujuan yang sudah memang diatur berlama-lama waktu. Berkeringat-keringat kita punya badan. Terseok-seok kita punya kaki. Bukankah kau tak menginginkan hal itu menjadi sia-sia kawanku?
Kau masih ingat kawanku? Saat bersama-sama kita merakit ini kendaraan. Kita sama-sama belum tahu apa yang harus dipasang pada kendaraan ini. Kita sama-sama belum tahu mau kemana arah kita setelah kendaraan ini jadi. Tapi setelah kendaraan itu jadi, semua komponen terpasang di tempatnya, walaupun tambal sulam pada dindingnya masih sangat terlihat, kita sama-sama memantapkan tekad arah perjalanan kita.
Kawan,
Kita sama-sama tahu dan melihat, banyak kendaraan lain yang berjalan berbarengan dengan kita. Dan kau tahu juga, bahkan banyak yang sudah berjalan lebih dulu. Tapi kita punya arah tujuan sendiri kawan. Kita tidak hanya mengekor mereka punya arah. Dengan kendaraan kita yang tambal sulam begini, kita mencoba mencari arah sendiri. Bukannya sok berdikari atau apalah namanya, tapi kau tahu kan, kita tak mau berjalan dimana berjuta orang berjalan juga. Konservatif itu namanya. Kita juga tak ingin bergantung pada kendaraan lain, mencoba mengikuti arah jejak jalannya. Kita punya arah sendiri kawan! Arah sendiri. Tapi jangan juga kita bilang kendaraan lain itu salah arah, jangan kawanku. Kita hanya punya arah sendiri. Setiap orang boleh menentukan nasibnya bukan? Begitu juga dengan kita.
Dalam perjalanan kita yang pelan tapi pasti itu, ternyata kita banyak menemukan kawan-kawan lain yang ingin menumpang pada kita punya kendaraan. Kendaraan yang serba tambal sulam begitu ternyata ada yang melirik juga. Aku tak tahu apakah mereka punya arah yang sama dengan kita, atau mereka hanya menumpang lalu berhenti pada persimpangan jalan di depan sana. Kita sama-sama tak tahu kawan. Yang jelas kita mencoba jadi orang baik kawan. Kita berikan itu kursi yang masih banyak kosong pada mereka-mereka ini. Tapi kalau ternyata arah mereka tidak sejalan dengan kita, kita biarkan mereka turun di persimpangan di depan sana. Karena kawanku, kita tidak bisa mengantar mereka ke arah tujuan mereka. Karena, terpaksa kuulang lagi kawan, kita punya arah sendiri.
Kawan,
Pada waktu itu kita berjalan malam hari. Aku yang mengemudi. Kau masih ingat? Gelap sekali. Itu lampu di kendaraan kita juga bukan lampu yang terbaik yang seharusnya dipasang. Jadilah kita beberapa kali harus berhenti memasang kembali itu lampu karena sering terlepas dari tempatnya. Tapi hanya sejenak kita berhenti kawan. Semangat kita mengalahkan soal lampu itu. Sampai akhirnya lampu itu terlepas dan tak bisa lagi dipasang. Untungnya Tuhan juga tak tinggal diam kawan. Dia kasih penerangan dari bulan yang bersinar indah di langit. Walaupun terlihat hanya samar-samar, kita lanjutkan perjalanan. Kau masih ingat kawan? Berat sekali waktu itu.
Suatu kali kendaraan kita tak bisa berjalan. Berhentilah kita di pinggir jalan, jalan yang penuh dengan semak belukar. Tapi kita merasa tidak tersesat kan? Kau mencoba mencari apa yang membuat kendaraan itu berhenti. Ternyata kita kehabisan itu bahan bakar. Kita terlalu semangat berjalan, mungkin. Jadinya kita berdiri disini, di pingir jalan yang penuh semak belukar. Tapi kita kan tidak takut kawan? Kita hanya berhenti sebentar, bukan tersesat. Kalau tersesat itu, mereka tidak tahu arah perjalanan mereka. Tapi kita tahu kawan. Kita tahu harus dibawa kemana ini kendaraan. Kita cuma kehabisan bahan bakar. Itulah saja. Sementara kita berhenti, ada kendaraan lain yang berhenti. Kita senang bukan kepalang. Ternyata kendaraan itu sama arah tujuannya dengan kita. Mereka coba bantu kita. Mereka beri itu sedikit bahan bakar mereka. Mereka coba kasih kita semangat lagi. “Mari kita lanjutkan perjalanan kita kawan” kata mereka itu hari. Akhirnya kita bisa melanjutkan perjalanan kita kawan. Kau masih ingat kawan? Kau dan aku tersenyum bersama.
Kawan,
Perjalanan kita ternyata masih sangat jauh. Aku mulai lelah. Mulai mengantuk. Seperti kata seorang yang sangat aku hormati, “dulu aku merasa tidak akan pernah tua.” Tapi ternyata itu kejadian yang alamiah. Kau dan aku tak bisa menghindari itu. Itu kodrat namanya. Harus ada yang menggantikan aku mengemudi. Tapi bukannya aku lalu turun dari ini kendaraan. Tidak kawanku. Kita belum sampai pada tujuan kita. Kenapa aku harus turun dari ini kendaraan? Aku hanya ingin ada yang menggantikan aku. Mengemudikan ini kendaraan sampai ke tujuan kita. Kau pun nantinya juga akan digantikan. Begitu terus. Sampai kita tiba di tujuan.
Ada beberapa kawan yang mengusulkan untuk mem-vermak ini kendaraan. Jadi lebih mentereng. Jadi lebih yahud. Enak dipandang di permukaan. Tapi aku menolak, kawan. Tak apalah kita naik ini kendaraan. Biarkan saja begini. Jelek-jelek begini, ini kendaraan kita dari awal. Banyak kenangan yang tergores pada ini kendaraan. Aku dan beberapa kawan lain juga sangat sayang pada ini kendaraan. Jangan lupakan sejarah! Itu pesan orangtua. Sejarah yang membentuk kita jadi seperti sekarang. Kemarin, hari ini, adalah esok, kawanku. Jangan kau merubah sejarah. Itu tidak baik menurutku. Tidak mendidik. Kau tidak ingin kan? Kendaraan yang sama-sama kita sayangi ini dionggokkan di tepi jalan semak belukar. Sendiri menunggu karat. Akhirnya mati dan tak berbekas. Aku perlu katakan ini lagi kawan, Jangan lupakan sejarah!
Kawan,
Matahari mulai terlihat. Jalanan itu mulai terlihat dengan jelas. Kau sudah menggantikan aku mengemudi. Lebih segar kulihat. Sedangkan aku? Aku mulai mengantuk kawan. Aku akan duduk di kursi penumpang saja. Tapi, seperti yang aku katakan diawal tadi. Jangan kau sering menoleh keluar jendela itu kawanku. Bisa bahaya. Kau harus yakin dengan arah kita. Bukankah yakinmu sama dengan aku punya yakin? Pastilah itu jika aku melihat pemikiranmu kawan. Aku tidak akan kemana-mana. Aku dibelakangmu. Mencoba menunjukkan arah jika kau bingung harus kemana. Tapi, aku yakin kau bisa sendiri kawan. Kau cukup punya potensi untuk itu.
Aku mulai lelah kawan.
Baiklah jika aku menyelesaikan omongan ngelantur ini disini saja. Jalankan ini kendaraan dengan baik. Sekali lagi tak bosan aku memperingatkan, jangan terlalu banyak kau menoleh keluar jendela itu. Itu didepan sudah terlihat jalan yang mulus. Mari arahkan kendaraan ini kesana.


PD Prananda

1 komentar:

  1. mungkin perlu melihat keluar jendela karena komunitas lain seperjuangan menyapa?


    no big deal mas.. percayakan pada leader baru dan kawanannya. believe what you believe:) next step itu pasti ada. semua tergantung proses nantinya. saya tahu, teman-teman pelopor membangun kendaraan dengan hati. tapi salah satu bannya sudah halus, mungkin perlu menyeimbangkan lagi. sedikit sukar memang. karena mind setnya beda-beda.


    thanks a lot, sir..

    BalasHapus